Oleh: Arif Rahmanulloh dan Elok Mulyoutami
Pagi-pagi sebelum jam tujuh, Pak Ardi Ritonga sudah bersiap dengan seragam dan peralatannya. Baju dan celana panjang lusuh menjadi pakaian wajib baginya. Tiga buah pisau berbeda ukuran terikat melingkar di pinggang, sementara kakinya dibalut sepatu ladam—sepatu hitam yang terbuat dari karet kasar. Bersamaan dengan mentari pagi yang masih hangat, ia berangkat menembus sisa kabut yang masih lengket di kaki bukit.
“Bargot harus di-agat tiap pagi dan sore. Kalau tidak, besoknya pohon itu tidak mau mengeluarkan air lagi,” jelas Pak Ardi, bapak lima anak. Dalam bahasa Batak, bargot berarti pohon aren. Pak Ardi menceritakan rutinitas seorang paragat (penyadap aren) dalam menjaga agar bargot tetap menghasilkan air nira. Bagi petani bargot, tidak ada kata libur. Mereka harus berangkat pagi-pagi benar dan pulang menjelang sore. Bahkan, terkadang mereka harus menginap di gubuk kebun jika pekerjaan masih menumpuk.
Pak Ardi tidak sendiri; ada puluhan paragat lain di Desa Paran Julu. Desa yang terletak di Kecamatan Sipirok ini merupakan salah satu wilayah di mana sebagian masyarakatnya masih menggantungkan hidup dari menyadap nira dan mengolahnya menjadi gula aren. Untuk mencapai Sipirok, dibutuhkan waktu sekitar 10 jam perjalanan darat dari Medan.
Tim peneliti World Agroforestry Centre (ICRAF) mengunjungi Desa Paran Julu pada awal Desember 2008 lalu. Kunjungan tersebut merupakan bagian dari uji lapangan metode cepat untuk mengidentifikasi intervensi yang diperlukan dalam pengembangan praktik agroforestri demi peningkatan taraf hidup masyarakat. Metode tersebut dikenal sebagai RAFT atau Rapid Appraisal of Agroforestry Practices and Technology.
“Dengan metode ini, para praktisi agroforestri diharapkan dapat menggambarkan kelebihan, kekurangan, dan potensi pengembangan dari suatu sistem agroforestri dalam waktu dua sampai tiga minggu,” jelas Endri Martini, Agroforestry Tree Specialist dari ICRAF.
Bersama peneliti lainnya, Endri melakukan pengukuran di kebun aren serta mengadakan diskusi kelompok dengan para petani, pengumpul, dan pedagang. Selain itu, observasi dan wawancara langsung juga dilakukan, baik di kebun maupun di pasar.
“Para peneliti ICRAF tidak hanya melihat pengelolaan kebun aren di Sipirok. Mereka juga melakukan pengumpulan data di beberapa tempat lain, seperti Desa Pagaran Tulason yang masih termasuk wilayah Tapanuli Selatan, Desa Sibulan-bulan di Tapanuli Utara, dan Desa Hutagurgur di Tapanuli Tengah.”
Semua desa tersebut terletak di DAS Batangtoru, salah satu kawasan hutan paling penting di Sumatra Utara yang saat ini masih menjadi habitat orangutan.
Di Desa Sibulan-bulan dan Pagaran Tulason yang berada pada ketinggian antara 600–800 mdpl, karet masih menjadi sumber penghidupan utama meskipun masyarakat setempat memelihara aren. Di kedua desa tersebut, aktivitas pembuatan gula aren hanya bersifat sampingan.
Kondisi ini berbeda dengan Desa Paran Julu yang berada pada ketinggian 800–1.200 mdpl; di sana, gula aren menjadi sumber penghasilan utama setelah padi sawah.”
Tidak hanya gula aren
Secara administratif, DAS Batangtoru terletak di tiga kabupaten sekaligus, yakni Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Pada tahun 2007, ketiga kabupaten ini menyumbang sekitar 24% dari seluruh gula aren yang dihasilkan oleh Sumatra Utara. Menurut BPS, pada tahun itu Sumatra Utara memproduksi gula aren sebanyak 3.356 ton. Gula aren adalah salah satu produk pohon aren yang paling banyak diusahakan selain ijuk, kolang-kaling, dan tuak.
Kebun aren umumnya masih dikelola dengan cara sederhana. Petani mengandalkan bibit dari aren yang tumbuh alami di kebunnya; biji-biji aren yang menjadi bibit tersebut biasanya disebarkan oleh musang ke seantero kebun. Meskipun demikian, ada juga beberapa petani yang sudah berhasil memindahkan anakan aren ke kebun mereka, seperti di Desa Pagaran Tulason, Kecamatan Arse. Selain pengelolaan kebun, penyadapan dan pengolahan hasil juga masih dilakukan dengan cara tradisional.
Di Desa Sibulan-bulan, Pagaran Tulason, dan Paran Julu, petani memelihara sekitar 10–20 pohon aren untuk memproduksi gula. Dalam sehari, mereka dapat menyadap sekitar 10–15 pohon. Tiap pagi dan sore, petani mengumpulkan nira di gubuk pembuatan gula (rumah gula) yang biasanya dibangun di tengah kebun. Satu pohon aren bisa memproduksi 10–30 liter nira tiap hari, tergantung iklim dan kondisi pohon.
Dalam dua hingga tiga hari, kuali penampungan nira akan penuh dan petani akan memulai proses manepek (membuat gula aren). Proses manepek memakan waktu sekitar tiga jam dan membutuhkan kayu bakar yang tidak sedikit.
Dalam satu minggu, dari 30–100 liter nira yang dihasilkan, seorang paragat dapat memproduksi 10–30 kg gula aren dan menjualnya dengan harga sekitar Rp9.000,00 per kg. Jika dalam seminggu petani bisa menghasilkan 20 kg gula aren, maka dalam sebulan seorang petani dapat mengumpulkan uang sekitar Rp720.000,00.
Tidak semua paragat memproses nira menjadi gula. Masyarakat di Desa Hutagurgur menyadap aren untuk dijadikan tuak. Mereka menjual tuak di lapo-lapo yang bisa ditemui sepanjang jalan desa, dengan harga seribu rupiah per botol. Untuk membuat tuak, petani tidak perlu memakai peralatan canggih; cukup menambahkan seikat raru—sejenis akar yang tumbuh di hutan. Nira akan menjadi tuak dalam waktu tiga hari. Jika dalam seminggu pemilik kedai memproduksi dan menjual tuak sebanyak 15 liter dari satu pohon aren, maka dalam sebulan mereka akan mendapatkan uang sebesar Rp100.000,00.





No responses yet