Agroforestri JatiGunung Kidul: Peluang dan Tantangan

“Karena suplai kayu jati dari perkebunan besar atau hutan pemerintah tidak lagi sebanyak dulu, industri mebel mulai mencari tambahan suplai jati dari hutan rakyat,” papar Philip Manalu dari Center for International Forestry Research (CIFOR). “Fenomena seperti ini merupakan kesempatan emas karena dapat membuka peluang bagi petani jati untuk meningkatkan taraf hidup mereka.”

Potensi agroforestri jati di Jawa memang sangat besar. Dengan luas hamparan sekitar 1,5 kali luas perkebunan jati berskala besar, tingginya permintaan, dan harga yang relatif bagus, peluang ini semestinya dapat menjawab berbagai persoalan kehidupan petani kecil, termasuk kemiskinan.

“Setidaknya ada tiga syarat bila tujuan tersebut hendak dicapai, yaitu memperbaiki teknik budidaya agroforestri jati, menciptakan skema pembiayaan usahatani di tingkat petani, dan memperbaiki akses pasar – termasuk di dalamnya mengurangi halangan regulasi,” jelas James Roshetko, peneliti senior World Agroforestry Centre (ICRAF)/Winrock International yang akrab disapa Pak Jim.

Ketiga hal yang diungkap Pak Jim itulah yang ingin dijawab dalam penelitian ACIAR Teak Project yang dilaksanakan di tujuh kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, atas dukungan dari Lembaga Penelitian Pertanian Internasional Australia (ACIAR).

Sejak pertengahan 2007 lalu, para peneliti dan fasilitator lapangan dari CIFOR, ICRAF, Winrock International, Balitbang Kehutanan, Intercafé Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Pokja Hutan Lestari Kabupaten Gunung Kidul bersama-sama dengan para petani jati melaksanakan penelitian yang direncanakan hingga tahun 2011.

Gerhard Manurung, peneliti ICRAF yang mengomandani penelitian budidaya jati mengemukakan bahwa secara umum petani Gunung Kidul masih perlu mengintensifkan penerapan teknik-teknik budidaya jati sehingga produktifitas dan kualitas kayu menjadi optimal.

“Bahkan tidak sedikit petani yang belum terbiasa dengan manfaat pemangkasan (pruning) dan penjarangan (thinning) terhadap pertumbuhan, produksi, dan kualitas kayu jati mereka,” jelas Gerhard yang berada di Wonosari tanggal 8-14 September 2008 lalu untuk memilih demoplot penelitian bersama rekan peneliti lainnya. “Kurangnya pengetahuan, informasi, dan modal kerja menjadi penghambat bagi petani dalam menerapkan usahatani jati yang tepat.”

Keterbatasan akses pasar merupakan permasalahan umum yang dihadapi petani kecil, termasuk petani jati di Gunung Kidul. Minimnya informasi mengenai standar kualitas kayu dan harga masih menjadi masalah utama. Hal ini diungkapkan Iwan Kurniawan dari ICRAF yang memimpin penelitian aspek pemasaran jati dalam penelitian yang sama. Iwan menjelaskan bahwa sebagian besar petani belum berorientasi pasar dalam mengelola agroforestri jati. Kemampuan negosiasi harga juga masih lemah sehingga seringkali petani terpaksa menerima harga jual kayu jati yang rendah.

”Untuk memberi gambaran tentang pengelolaan usaha tani jati yang baik, kami mengajak petani dan pedagang kayu jati Gunung Kidul berkunjung ke perusahaan pemrosesan jati di Jepara dan Perum Perhutani Cepu di Jawa Tengah. Kami juga telah mengajak mereka mengunjungi lokasi pembibitan di Kawasan Hutan Penelitian Bunder-Playen dan komunitas petani jati di Karangasem yang masih berada di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Bulan April lalu, kami juga mengadakan pelatihan selama 3 hari bagi para petani mengenai aspek legal penebangan dan penjualan kayu jati,” papar Iwan.

Kendala regulasi yang menghambat perkembangan pasar jati rakyat juga mendapat perhatian dalam pelatihan tersebut. Philip dari CIFOR yang terlibat dalam penelitian aspek kebijakan dari ACIAR Teak Project, menyayangkan keharusan petani kecil mengikuti regulasi yang sebenarnya diperuntukkan bagi perkebunan besar. “Petani diharuskan menyiapkan SKSKB (Surat Keterangan Sah Kayu Bulat) yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan. Pada prakteknya, petani sering menyerahkan urusan perijinan ini kepada pedagang kayu dan terpaksa membayar biaya yang tidak kecil. Mestinya, cukup dengan SIT (Surat Ijin Tebang) yang dikeluarkan Kepala Desa, petani sudah bisa menjual hasil kebunnya dengan bebas,” jelas Philip sembari mengatakan bahwa praktek semacam itu mengurangi pendapatan petani. “Karena itulah, diperlukan pendekatan multi-pihak dalam usaha mengembangkan agroforestri jati di wilayah Gunung Kidul dan Indonesia pada umumnya supaya semua aspek pengembangan agroforestri jati akan dapat ditangani,” ujar Pak Jim yang menjadi koordinator peneliti ICRAF/Winrock International untuk kedua bidang penelitian, yaitu budidaya dan pemasaran jati. “Dalam penelitian ini, kami menyatukan semua keahlian dari berbagai lembaga yang berpartisipasi. Masing-masing berperan sesuai dengan bidangnya dan bersifat saling mengisi. Dan yang paling penting, dampak penelitian dan usaha pengembangan agroforestri jati yang kami lakukan di Gunungkidul akan dapat dirasakan secara lebih nyata dan luas – baik untuk kepentingan keilmuan maupun penerapan di lapangan oleh masyarakat tani”. [AF/IK]

CATEGORIES:

Uncategorized

Tags:

Comments are closed

Pencarian

Bagikan