Oleh: Subekti Rahayu
Opini pada Harian Kompas 1 Maret 2018 tentang mendesaknya kedaulatan pangan dan menekankan pada diversifikasi pangan perlu menjadi perhatian. Selanjutnya, Harian Kompas 2 Maret 2018 masih membahas mengenai contoh-contoh bentuk kemandirian pangan yang sinergi dengan alam. Masyarakat perdesaan di Indonesia sebenarnya telah menerapkan diversifikasi pangan sejak ratusan tahun yang lalu, seperti yang diterapkan oleh masyarakat Badui. Namun, berbagai kebijakan di masa lalu telah mengubah persepsi masyarakat mengenai penganekaragaman pangan, bahkan kemiskinan identik dengan konsumsi beras.
Isu mengenai mendesaknya kedaulatan pangan ini menjadi momentum yang tepat untuk mengembalikan diversifikasi pangan di Indonesia. Pengarus-utamaan diversifikasi dan kemandirian pangan dalam kebijakan pemerintah daerah seperti pemanfaatan kembali sagu sebagai makanan pokok di Ambon merupakan langkah awal. Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang sedang mendorong percepatan perhutanan sosial dan pemulihan fungsi hutan dan lahan terdegradasi sedang digalakkan. Menyambungkan kedua isu tersebut untuk mencari solusi dalam perbaikan fungsi hutan dan lahan kemandirian dan diversifikasi pangan di Indonesia merupakan hal yang sangat diperlukan.
Agroforestri berpeluang sebagai solusi
Agroforestri sebagai suatu sistem pengelolaan lahan yang menggabungkan antara tanaman tahunan dan tanaman setahun, bahkan ternak, memungkinkan sebagai opsi untuk diterapkan dalam program percepatan perhutanan sosial. Sistem dengan tajuk berlapis-lapis seperti hutan ini mampu mengembalikan fungsi hutan dalam pengaturan tata air dan iklim mikro. Sistem yang sudah diterapkan sejak lama oleh masyarakat di pedesaan Indonesia ini mampu menyediakan beragam kebutuhan, termasuk jenis-jenis tanaman pangan sumber karbohidrat selain beras, sumber vitamin berupa sayur-sayuran dan buah-buahan serta tanaman obatobatan. Jenis-jenis tanaman dalam agroforestri mampu menciptakan suatu kemandirian dan diversifikasi pangan bagi penggarap lahan.
Keanekaragaman jenis dan fungsi tanaman dalam agroforestri di pekarangan
Pada sistem agroforestri yang diterapkan dalam pekarangan oleh masyarakat di pedesaan, sekurang-kurangnya terdapat sekitar 70 jenis tanaman yang dimanfaatkan dalam luasan sekitar 2500 m2. Secara garis besar, jenis-jenis tanaman yang ada di dalam pekarangan dapat dikelompokkan menjadi enam (Tabel 1).
Berbagi ruang dan waktu dalam sebidang lahan
Berbagi ruang dan waktu diterapkan dalam sistem agroforestri oleh pemilik pekarangan, sehingga membentuk tajuk berlapis-lapis dan hasil panen yang berkesinambungan. Kelapa, randu, jati, sengon, trembesi dan mahoni menempati tajuk paling atas. Tanaman buah-buahan seperti mangga, durian, nangka, jambu air, sawo, rambutan, jambu mete, cengkeh menempati lapisan di bawahnya dan kopi, kelor, jeruk berada pada lapisan lebih rendah lagi. Sementara tanaman semusim sumber karbohidrat, sayur-sayuran, bumbu dan tanaman hias berada dalam lapisan tajuk bawah. Penanaman jenisjenis tanaman semusim pada tajuk bawah disesuaikan dengan musim, sehingga terjadi pembagian dalam skala waktu.
Pada awal musim penghujan, tanaman umbi penghasil karbohidrat seperti singkong, uwi, gembili, gadung garut, ganyong, keladi dan ubi jalar mulai ditanam untuk dipanen sekitar delapan bulan kemudian. Umbi-umbian seperti uwi, gembili dan gadung ditanam di sekitar pohon mangga, nangka atau durian yang berfungsi sebagai tempat merambat. Jenis-jenis umbi sumber karbohidrat ini umumnya tahan beberapa bulan dalam penyimpanan, kecuali singkong. Pengawetan untuk panen singkong umumnya dikeringkan menjadi gaplek sebagai bahan makanan olahan singkong. Umbi-umbian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat secara bergantian dengan singkong. Garut dan gayong umum ditemukan di sekitar rumpun bambu, karena tanaman tersebut mampu bertahan di bawah tajuk yang cukup rapat. Demikian pula dengan keladi yang ditanam pada tempat yang lembab di dalam pekarangan.
Tanaman sayur-sayuran yang merambat seperti kecipir, benguk, labu, pare, dan kacang-kacangan juga ditanam dengan memanfaatkan pohon bertajuk sedang sebagai tempat merambat. Sementara, sayur- sayuran lainnya seperti bayam, terong, cabai, mentimun dan kacang panjang ditanam dengan memanfaatkan lahan terbuka yang tidak ternaungi pohon. Tanaman obatobatan dan bumbu seperti kencur, kunyit, jahe dan lengkuas ditanam pada tempat-tempat kosong yang agak lembab dan ternaungi, sedangkan sereh ditanam pada tempat terbuka yang cukup mendapat cahaya matahari. Sirih dan cincau umumnya ditanam dengan memanfaatkan tegakan kelor. Sementara, daun kelornya adalah bahan untuk sayuran.
Idealnya, dengan menerapkan sistem agroforestri di pekarangan seluas seperempat hektar, pemilik lahan dapat memanfaatkan sumber-sumber karbohidrat yang ada di dalamnya dan mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi beras. Jika dalam satu hari, satu keluarga yang terdiri dari empat orang dapat mengurangi konsumsi beras satu kali makan dan mengganti dengan karbohidrat dari pekarangan, maka bisa mengurangi konsumsi beras minimal 15 kg per bulan. Apalagi jika tanaman sayur-sayuran dibudidayakan di dalam pekarangan, maka kemandirian pangan keluarga dapat tercapai. Sayur-sayuran dan buahbuahan tersedia dari pekarangan secara bergantian. Bahkan, hasil buah-buahan dapat dijual sebagai sumber pendapatan tambahan untuk keluarga. Integrasi dengan ternak ayam atau kambing akan menjadi pelengkap kebutuhan gizi keluarga.
Comments are closed