Oleh: Aenunaim
Selama pertengahan tahun 1990-an sampai tahun 2018, lahan gambut menjadi pusat perhatian berbagai pihak. Mulai dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan, bahkan politik sekalipun, semua mata tertuju pada potensi lahan gambut dan kerusakannya. Beberapa pemanfaatan gambut diantaranya untuk pertanian, perkebunan, energi, dan industri berbasis biomassa (Masganti dkk 2014)1: 1) sebagian besar potensi pemanfaatan lahan gambut lebih banyak untuk penyedia bahan pangan (Masganti dkk 2017)2, 2) adapun faktor kerusakan gambut disebabkan karena pemanfaatan gambut dengan teknologi yang tidak tepat guna, seperti tatakelola air yang berakibat pada kekeringan atau banjir dan kebakaran, perubahan fungsi gambut secara masif yang berakibat terganggunya aktivitas dan sumberdaya penghidupan masyarakat.
Degradasi nilai dan fungsi dari lahan gambut akan memberikan dampak negatif pada aspek sosial terutama masyarakat sekitar yang memanfaatkan lahan gambut, seperti sumber mata pencarian, sarana rekreasi pengembang kultur sosial maupun spiritual, 3) apa sebenarnya permasalahan utama dalam keberlangsungan masyarakat di sekitar lahan gambut, siapa dan bagaimana kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungannya?
Restorasi Gambut Sumatra Selatan
Adanya upaya untuk memperbaiki atau memulihkan kondisi lahan gambut yang rusak dengan membentuk struktur dan fungsinya sesuai (mendekati) dengan kondisi awal atau biasa disebut restorasi gambut, maka diharapkan dapat menjadi solusi bagi kelangsungan hidup secara social, ekonomi maupun lingkungan. Tim Restorasi Gambut Sumatera Selatan (TRGSS) Bersama-sama mitra pembangunan, CSO Perusahaan dan konsorsium gambut (ICRAF, WRI dan Wetland) membuat perencanaan Restorasi Gambut yang dapat direalisasikan sekaligus membantu Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam perencanaan dan pelaksanaanya.
Jauh sebelum rencana ini dilakukan, hal terpenting yang harus diketahui adalah masalah, faktor pemicu, aturan main dan Solusi yang diharapkan bagi masyarakat sekitar. Hasil survey lapangan di Provinsi Sumatera Selatan, tepatnya di kabupaten Oki dan Musi Banyuasin dengan melibatkan beberapa kelompok usaha, KPH, Pemerintah daerah dan kelompok masyarakat. Hasil survey menyimpulkan bahwa potensi masalah yang muncul disebabkan karena:
1. Kebijakan tatakelola lahan gambut
Kebiasaan tatanan masyarakat yang tidak tepat terkait pengelolaan lahan Kepastian peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dan Fungsi Ekosistem Gambut (FEG), tersebut yang akan menentukan kesepakatan bersama antara peta indikatif pemerintah dengan pengusaha dan sekitarnyasebagai dasar perencanaan usaha dan wilayah. Hal ini akan mempengaruhi tatanan hidup masyarakat didalam maupun di sekitar ekosistem gambut.
2. Hilangnya sebagian mata pencaharian akibat kebijakan
Setelah adanya Peraturan Menteri LHK dari mulai P.14 sampai P. 17 Tahun 2017 dan P. 59 Tahun 2016, semua harus melakukan adaptasi terkait implikasi kebijakan tersebut, yang mana salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggantian lahan untuk pengusaha hutan kayu. Namun kepastian lahan pengganti, skema penggantian dan cadangan lahan pengganti belum dapat menjamin keberlangsungan usaha dan penghidupan masyarakat. Seperti jaminan tenaga kerja pada perusahan yang ada, hasil produk masyarakat terhadap akses pasar, jaminan bahwa penghidupan masyarakat tidak lebih buruk dibandingkan ketika hidup di area gambut.
3. Kebiasaan tatanan masyarakat yang tidak tepat terkait pengelolaan lahan
Beberapa tahun kebelakang, banjir dan kebakaran lahan di provinsi Sumatera Selatan sudah menjadi hal yang lazim. Beberapa orang menyatakan karena adanya kebiasaan pola tanam yang membuka lahan dengan membakar, nenek moyang masyarakat Sumatera Selatan dan sekitarnya membakar lahan berdasarkan kearifan lokal, kapan dan bagaimana membakar yang bertanggung jawab. Namun dalam perkembangannya kearifan lokal dalam membuka lahan dengan membakar sangat tidak sesuai dengan norma dan tata caranya, sehingga merugikan semua masyarakat. Perubahan kebiasaan ini berdampak pada ketergantungan terhadap suatu alat berat, dan satu diantara masyarakat penghuni gambut tidak akan dapat memiliki alat tesebut karena harga yang tidak terjangkau. Selain itu belum satupun ditemukan suatu cara efektif yang dapat mengganti skema buka lahan tanpa membakar.
4. Kepastian mendapatkan penghidupan
Budaya bekerjasama dan anggapan kesesuaian usaha dengan norma dan budaya setempat antar elit birokrasi, pengusaha dan masyarakat lokal, telah mendukung terbentuknya usaha-usaha perkebunan, pertanian, kehutanan dan sedikit pertambangan. Kelompok-kelompok masyarakat di daerah, meskipun berbeda suku, seperti Banjar, Komering, Jawa, Batak dan Melayu, ketika terbentuk dalam susunan kepentingan bersama dalam suatu wilayah lahan seperti gambut, maka kelompok masyarakat tersebut akan memiliki keinginan yang sama untuk mengubah lahan gambut menjadi lahan usaha produktif. Sejauh ini ketika pemerintah menetapkan Fungsi Ekosistem Gambut Lindung dan kelompok tertentu terkena dampak, belum ada alterntif bentuk usaha untuk meminimalisir terjadinya dampak terburuk akibat kebijakan tersebut. Misalnya menjadi peladang berpindah kembali, membakar lahan untuk membuka tempat tinggal baru, membuka akses terhadap kriminalisasi lahan tanpa izin dan lainnya.
Faktor-Faktor yang memperburuk dan mempengaruhi permasalahan
Menurut Martin dan Winarno 20103, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dampak sosial akibat konflik lahan gambut diantaranya adalah:
1. Keberadaan individu sebagai teladan
2. Kemudahan proses perizinan
3. Kepuasan kinerja pola pemanfaatan
4. Anggapan kesesuaian lahan
5. Dukungan aturan Kemudahan monitoring
6. Rendahnya resiko klaim lahan oleh pihak lain
7. Kemudahan membuat batas
8. Anggapan ramah lingkungan
9. Penerimaan sosial pilihan usaha
10. Kemudahan memobilisasi massa
11. Budaya bekerjasama
12. Keberadaan individu sebagai teladan
13. Kesesuaian dengan norma dan budaya
14. Dukungan tenaga kerja
15. Keberadaan pasar bagi produk akhir
16. Rendahnya biaya penguasaan teknologi
Faktor-faktor tersebut diakui telah memicu terjadinya ke-tidak-taat-an pada tujuan mulia restorasi gambut. Dari beberapa faktor yang mempengaruhi dampak sosial tersebut, tiga diantaranya menjadi faktor utama, seperti: 1) anggapan terhadap kesesuaian lahan, 2) penerimaan sosial pilihan usaha dan 3) rendahnya biaya penguasaan teknologi.
Review kebijakan
Pemerintah telah mengeluarkan PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PPEG) yang merupakan turunan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang bertujuan untuk melestarikan fungsi dan mencegah kerusakan ekosistem gambut yang berbasis pada Kesatuan Hidrologis Gambut. Dari hasil diseminasi PP 71 /2014 tersebut, diperoleh feedback bahwa PP tersebut ditengarai berpotensi dapat menghambat pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit.
Secara spesifik, bagian yang dianggap berdampak terhadap pembangunan HTI dan perkebunan kelapa sawit adalah Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 23 ayat (3).
- Ketentuan Pasal 9 ayat (3) yang mengatur bahwa “Fungsi lindung Ekosistem Gambut paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas kesatuan hidrologis gambut serta terletak pada puncak kubah gambut dan sekitarnya”.
- Ketentuan Pasal 9 ayat (4) yang mengatur bahwa “Dalam hal di luar 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas kesatuan hidrologis gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih terdapat:
a. Gambut dengan ketebalan 3 (tiga) meter atau lebih;
b. Plasma nutfah spesifik dan/atau endemik;
c. Spesies yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan/atau
d. Ekosistem gambut yang berada di kawasan lindung sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi, menteri menetapkan sebagai fungsi lindung ekosistem gambut”. - Ketentuan Pasal 23 ayat (3) yang mengatur bahwa “Ekosistem gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila memenuhi kriteria baku kerusakan sebagai berikut:
a. Muka air tanah di lahan gambut lebih dari 0,4 (nol koma empat) meter di bawah permukaan
gambut; dan/atau
b. Tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan gambut.
Regulasi perlindungan ekosistem gambut diperkuat lagi dengan terbitnya PP No.57/2016 atau PP Gambut yang melarang aktivitas budidaya di atas lahan gambut yang ditetapkan sebagai kawasan lindung. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik dalam dunia usaha maupun masyarakat yang berada maupun di sekitar gambut, sehingga diperlukan konsolidasi kembali. Temuan kebijakan lainnya adalah SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.130/2017 tentang penetapan peta fungsi ekosistem gambut nasional, merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016 jo.PP 71/2014 atau PP Perlindungan Gambut yang mengatur penetapan tinggi muka air tanah (TMA) ditetapkan muka air tanah gambut kurang dari 0,4 meter masih terdapat perbedaan dengan permentan 14/2009. Riset profil fluktuasi alami tinggi muka air, dalam hal ini sangat dibutuhkan sehingga mendapatkan data time series yang dapat menjawab kelayakan kebutuhan tinggi air gambut dalam keberlangsungan usaha dan keamanan lingkungan. Menurut kelompok usaha, PP 57/2016 jo.PP 71/2014 perlu direvisi, karena justru kontradiktif dengan upaya Indonesia menjaga ketahanan pangan dengan membatasi pemakaian lahan gambut. Terbitnya substansi pengaturan dalam PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, dinilai berpotensi menimbulkan multi interpretasi di lapangan dan konsekuensi hukum bagi pelaku usaha, masyarakat sekitar gambut, pemerintah daerah dan KPH dalam tata ruang dan lahan.
Rekomendasi Kebijakan Restorasi Gambut
Salah satu indikator keberhasilan dalam mengatasi masalah konflik adalah adanya komitmen dalam menghormati hak-hak masyarakat, terkait penguasaan, akses dan penanganan konflik itu sendiri. Dampak sosial pada konflik lahan gambut yang terpenting adalah bagaimana kebijakan kesepakatan antar pihak yang berkepentingan, diantaranya:
1. Masyarakat hukum adat, lokal dan pendatang
Merancang dan melaksanakan restorasi ekosistem gambut dengan cara memupuk rasa hormat terhadap martabat masyarakat adat, hak asasi manusia dan keunikan budaya, menerima manfaat sosial dan ekonomi yang sesuai secara budaya dan tidak mengalami dampak buruk selama proses restorasi.
2. Kebudayaan
Dalam membantu melestarikan sumberdaya alam, fisik dan menghindari kerusakan ekosistem gambut dalam usaha budidaya lahan gambut perlu menghormati hak-hak peradaban setempat seperti arkeologi, paleontologis, sejarah, arsitektur, agama (termasuk kuburan dan tempatpemakaman), estetika atau kepentinganbudaya lainnya.
3. Penggantian lahan penghidupan dan usaha
Untuk menghindari atau meminimalkan resiko usaha lahan kembali, maka diperlukan proses membantu orang-orang terlantar (kelompok termarjinalisasi), perusahanatau KPH dalam memperbaiki atau setidaknya memulihkan penghidupan, standar hidup, peluang usaha dan rencana usaha secara riil, relatif terhadap tingkat pra-pemindahan atau tingkat yang berlaku sebelum dimulainya pelaksanaan restorasi yang akan dikembangkan, mana yang lebih berpengaruh sangat nyata terhadap resiko termarginalisasikan dan kelayakan usaha.
4. Alternatif pengelolaan ekosistem gambut
Skema kemitraan dan jaminan akses terhadap penghidupan masyarakat dapat merubah kebiasaan dalam mata pencaharian, termasuk integrasi system perencanaan dan pengendalian kebijakan program (one map, masterplan sumber daya air, masyarakat peduli gambut, moratorium, percepatan perizininan, sistem monitoring gambut dll) adalah bentuk alternative pengelolaan yang harus sejalan dengan fungsi penghidupan dan menjamin keberlangsungan lahan.
5. Rencanaan Restorasi Ekosistem Gambut berdasarkan struktur alami yang difungsikan sesuai ekosistemnya (lindung dan budidaya).
- Masganti dkk. 2014. Karakteristik dan Potensi Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradasi di Provinsi Riau. Makalah Review. ISSN 1907-0799. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 8 No. 1, Juli 2014; 59-66. ↩︎
- Masganti dkk. 2017. Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Dangkal untuk Pertanian. Makalah Review. ISSN 1907-0799. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 11 No. 1, Juli 2017; 43-52. http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jsl/article/view/8191 ↩︎
- Edwin Martin & Bondan Winarno. Peran Parapihak dalam Pemanfaatan Lahan Gambut; Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 7 No. 2, Agustus 2010: 81 – 95. ↩︎
Comments are closed