Meninjau ekonomi hijau

Meninjau ekonomi hijau


Seiring dampak kerusakan ekosistem dan perubahan iklim yang diakselerasi oleh aktivitas manusia semakin terasa, ekonomi hijau muncul sebagai pendekatan yang berusaha menjaga daya dukung lingkungan sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.

Artikel ini bermaksud menjabarkan apa yang dimaksud dengan ekonomi hijau, mengapa itu penting, dan relevansinya bagi Indonesia. Kami juga menjelaskan tentang konsep ekonomi hijau yang telah dikembangkan oleh CIFOR-ICRAF bersama pemerintah setempat di beberapa daerah di Indonesia. Di akhir artikel, kami menyarankan beberapa aspek penting untuk memastikan penerapan ekonomi hijau dapat berkelanjutan.

Solusi untuk Tarik Ulur Ekonomi dan Ekologi

Kelindan krisis iklim, pangan, dan energi telah membuat hampir semua negara banting setir menuju pembangunan yang lebih berkelanjutan. Sejak konferensi Rio+20, ekonomi hijau atau pertumbuhan ekonomi hijau (kedua istilah ini seringkali digunakan bergantian) muncul sebagai payung untuk berbagai konsep pembangunan berkelanjutan melalui agenda pembangunan rendah karbon, penghematan penggunaan sumber daya alam, serta mendorong akses dan penerimaan manfaat yang merata bagi masyarakat.

Ekonomi hijau menjadi pendekatan paling populer di antara pendekatan-pendekatan yang ditawarkan; salah satunya degrowth atau penyusutan ekonomi, yang berargumen bahwa penurunan skala produksi dan konsumsi justru diperlukan untuk mengatasi krisis surplus produksi, memulihkan lingkungan yang terdegradasi, dan meningkatkan pemerataan pembangunan. Pendekatan degrowth telah dikritik kurang adil bagi negara dengan jejak karbon per kapita yang masih jauh di bawah rata-rata global karena, berpegang pada asas keadilan, masyarakatnya pun berhak untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dalam banyak kasus, masyarakat di negara-negara ini adalah yang paling terdampak oleh krisis iklim, kendati kuasa atas pembangunan dan kontribusi pada pencemaran lingkungan serta emisi karbon per kapitanya relatif rendah dibandingkan negara-negara maju.

Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, bagaimana pertumbuhan hijau bisa hadir sebagai solusi yang mewujudkan pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga daya dukung lingkungan?

Tarik ulur aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan terjadi karena keterbatasan sumber daya yang tersedia, namun ketiga aspek tersebut saling berkelindan bahkan bergantung satu sama lain.

Ekonomi hijau dan pertumbuhan ekonomi hijau (green growth) berupaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi sesuai kesepakatan para pihak dengan tetap mempertimbangkan dampak ekologi dan sosial.

Sebagai contoh, pada proyeksi skenario Business as Usual (BAU) dalam Green Growth Plan Sumatera Selatan 2017–2030, ekspansi komoditas unggulan daerah justru memperlemah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Jika strategi ekspansi disandingkan dengan peningkatan produktivitas per unit area (melalui praktik pertanian baik, intensifikasi, maupun agroforestri), maka PDRB dapat meningkat 3% dari BAU. Proyeksi pertumbuhan ekonomi pada skenario BAU juga menghasilkan emisi 22% lebih tinggi dibandingkan skenario ekonomi hijau.

Pertumbuhan berbasis ekonomi hijau berupaya menerapkan kegiatan ekonomi berbasis lahan yang selaras dengan kondisi lingkungan setempat—misalnya melalui pemilihan komoditas—sekaligus mengurangi dampak negatif pada lingkungan melalui praktik pertanian yang baik. Ilustrasi dari Sumatera Selatan menunjukkan potensi daerah untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau.

GGP Sumsel juga menunjukkan bahwa sektor lahan berpotensi turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata di tingkat provinsi maupun daerah. Hal ini bisa dicapai dengan memaksimalkan sinergi antara kegiatan ekonomi dan upaya pelestarian lingkungan, sehingga dampak negatif pada lingkungan tetap terkendali.

Indonesia di Persimpangan Jalan: Dilema dan Peluang

Indonesia sedang berada pada fase yang krusial. Di satu sisi, ada ambisi untuk terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain, Indonesia juga berupaya meningkatkan kualitas lingkungan dan penghidupan dengan tetap menjaga ekosistem tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati.

Pemerintah Indonesia semakin menunjukkan keseriusan dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon, berketahanan iklim, dan inklusif. Melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), pemerintah mendorong adopsi pertumbuhan ekonomi hijau di pusat dan daerah dengan menetapkan Indeks Ekonomi Hijau (Green Economy Index/GEI) sebagai salah satu indikator pembangunan. GEI mengukur kinerja negara atau provinsi dalam mencapai target keberlanjutan melalui 16 indikator dari tiga pilar: lingkungan, sosial, dan ekonomi. Meski target GEI untuk setiap provinsi telah ditetapkan hingga 2045, pemerintah belum menyertakan strategi yang dapat digunakan daerah untuk mencapai target tersebut.

Konsep pertumbuhan ekonomi hijau yang didorong oleh CIFOR-ICRAF Indonesia melalui GGP menawarkan pendekatan yang mendukung pencapaian GEI, khususnya bagi daerah yang bergantung pada sektor ekonomi berbasis sumber daya alam terbarukan di sektor lahan. Jika strategi intervensi dalam GGP dilaksanakan dengan baik, maka hal ini dapat berkontribusi untuk memperbaiki beberapa indikator GEI. Contohnya, upaya meningkatkan luasan hutan dapat didukung melalui rehabilitasi dengan agroforestri yang dirumuskan dalam GGP.

Agroforestri, yakni praktik menanam pohon di kebun, dapat menjaga kualitas lingkungan (tanah, iklim mikro, keanekaragaman hayati) sekaligus menambah penghasilan petani melalui beragam komoditas dalam satu hamparan. Tanpa disadari, praktik agroforestri di tingkat tapak di Sumsel, Sulsel, dan NTT yang telah berjalan ratusan tahun telah banyak berkontribusi terhadap perwujudan ekonomi hijau di tingkat makro. Pertumbuhan ekonomi hijau dengan agroforestri memberikan peluang menurunkan emisi GRK, meningkatkan biodiversitas, menghadirkan peluang penghidupan yang berketahanan iklim, serta meningkatkan ketahanan pangan. Optimalisasi penerapan agroforestri menjadi salah satu landasan kunci dalam strategi GGP yang disusun CIFOR-ICRAF bersama pemerintah di beberapa daerah di Indonesia, seperti Sumsel, Jambi, Aceh, Papua, Papua Barat, Sulsel, dan NTT.

Fokus lain dari GGP ialah pengelolaan sumber daya, khususnya dari sektor berbasis lahan, sebagai solusi berbasis alam (nature-based solutions) untuk mengatasi permasalahan iklim.

Mengingat sektor lahan merupakan ruang yang terbatas, GGP mengutamakan perumusan strategi dengan skenario berbasis spasial dan proses diskusi yang melibatkan serta disepakati para pihak. GGP juga dilengkapi dengan peta jalan yang merinci tata waktu pelaksanaan, pemangku kepentingan, dan potensi pendanaan. Strategi dan peta jalan ini kemudian diarusutamakan ke dalam berbagai tingkat pembangunan dan perencanaan tata ruang.

Mendorong Transformasi Ekonomi melalui GGP

Penerapan ekonomi hijau di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi dapat terwujud tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Pendekatan ini semakin relevan bagi negara-negara yang paling terdampak oleh krisis iklim, karena berupaya mengurangi kerusakan ekologi dari model pertumbuhan konvensional sambil tetap memenuhi hak masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana penerapan ekonomi hijau bisa berkelanjutan bagi daerah. Pembelajaran dari GGP terdahulu menunjukkan beberapa prinsip kunci yang perlu diperhatikan.

Pertama, monitoring dan evaluasi dampak.
Perlu dipersiapkan kelembagaan dan perangkat monitoring serta evaluasi dampak yang komprehensif untuk meninjau sejauh mana tujuan GGP di setiap daerah berhasil dicapai.

Kedua, peningkatan kapasitas dan data.
Data, khususnya data spasial, merupakan elemen penting dalam analisis GGP. Peningkatan kapasitas Pokja perlu dilakukan agar mampu mengawal analisis data GGP dengan baik.

Ketiga, komitmen pengelolaan data secara multipihak.
Monev melalui sistem informasi GGP memerlukan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk mengumpulkan data, mengolah dan menginputnya ke dalam sistem, serta melakukan perawatan portal dan server agar dapat diakses dan dikawal oleh semua pihak.

Keempat, pengarusutamaan dalam kebijakan.
Pengarusutamaan GGP perlu dilakukan bersama seluruh pemangku kepentingan di daerah untuk menerapkan kebijakan GGP.

Ira Ratna Sari, Feri Johana, dan Arga Pandiwijaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

CATEGORIES:

Editorial

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *