Inovasi Agroforestri untuk Meningkatkan Produktifitas Karet

“Produksi karet rakyat di Kabupaten Bungo masih di bawah 600 kg/ha/tahun. Sebagai komoditas unggulan, ini tergolong rendah,” ungkap Ratna Akiefnawati, peneliti World Agroforestry Centre (ICRAF) yang berkantor di Jl. Tembesu 21, Muara Bungo, Jambi.

Ratna menjelaskan bahwa salah satu penyebab rendahnya produksi adalah penggunaan bibit karet bermutu rendah. Sumber bibit biasanya berupa karet cabutan atau biji sapuan (seedling). Pemeliharaan yang dilakukan juga sangat minim.

“Kalau berbicara tentang produksi karet rakyat, memang seperti itulah adanya. Tentu saja hasilnya masih sangat rendah dan jauh dari yang diharapkan,” jelas Dr Laxman Joshi, peneliti ICRAF yang lama berkecimpung dalam penelitian sistem agroforestri karet di Jambi.

Di sisi lain, sistem agroforesti karet di Bungo ternyata memiliki aspek positif terutama berkaitan dengan tingginya tingkat keragaman hayati yang mendekati kondisi hutan sekunder. Penelitian yang dilakukan para peneliti ICRAF menunjukkan beberapa bukti.

Tahun 2006, penelitian Rasnovi di Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo menunjukkan sebanyak 62,69% jenis anakan tumbuhan berkayu yang ditemukan beregenerasi di hutan juga ditemukan di agroforestri karet. Calestreme (2004), Prasetyo (2007), Hendarto (2007), dan Hariyanto (2007) menyimpulkan bahwa agroforestri karet dapat menampung 31 jenis mamalia yang menjadikan agroforestri karet sebagai penyedia sarang dan makanan, area migrasi, tempat hidup hewan langka. Di dalam agroforestri karet juga ditemukan 12 jenis kelelawar pemakan buah dan serangga, 6 jenis primata serta 46 jenis kumbang tinja yang dapat digunakan sebagai indikator agroforestri karet sebagai lingkungan yang menyerupai hutan.

Berangkat dari kenyataan rendahnya produksi karet serta perlunya penyelamatan ekosistem agroforestri karet yang kaya keragaman hayati, maka pada tahun 1996, ICRAF memulai penelitian bersama CIRAD (organisasi Perancis dengan spesialisasi penelitian pertanian untuk pembangunan di daerah tropis dan sub-tropis), Balai Penelitian Sembawa Pusat Penelitian Karet, dan beberapa universitas dalam maupun luar negeri.

“Kami berusaha memahami tradisi pemanfaatan lahan para petani. Ternyata tradisi tersebut banyak menyimpan kearifan lokal,” papar Laxman yang juga ahli dalam bidang etno-ekologis.

Berdasarkan pemahaman tersebut, ICRAF berusaha menjawab pertanyaan bagaimana meningkatkan produksi agroforestri karet, namun di sisi lain keragaman hayati tetap terjaga.

Penelitian yang bertajuk Smallholder Rubber Agroforesty Project (SRAP) antara lain didanai oleh USAID (1996-1998) dan DFID (1998- 2001). SRAP lalu dilanjutkan dengan Smallholder Rubber Agroforestry System (SRAS) yang didanai oleh Common Fund for Commodities (CFC) dan dipantau oleh International Rubber Study Group (IRSG) antara 2004-2008.

Melalui SRAP dan SRAS, ICRAF memperoleh jawaban. Untuk meningkatkan produktifitas agroforestri karet, ICRAF memperkenalkan inovasi agroforestri karet yang dinamakan RAS 1, RAS 2, dan RAS 3. Ketiga inovasi tersebut dikembangkan berdasarkan pengalaman di lokasi-lokasi penelitian di Kabupaten Bungo -Jambi, Kabupaten Pasaman – Sumatera Barat, dan Kabupaten Sanggau – Kalimantan Barat.

“Hasil sadap karet dalam ketiga sistem RAS yang diperkenalkan tersebut berkisar antara 1100-1700 kg/ha/tahun. Kenyataan ini tentu saja menggembirakan bagi petani,” kata Ratna.

Dibandingkan dengan sistem penanaman karet monokultur, ketiga sistem RAS tidak memerlukan pengelolaan yang terlalu intensif. Hal ini memungkinan tumbuhnya beragam tumbuhan yang berguna bagi konservasi fauna dan flora. Para petani juga mendapatkan keuntungan tambahan dari hasil buah-buahan atau pohon kekayuan. Lingkungan agroforestri karet menjadi rumah tinggal alternatif bagi fauna yang mulai terancam punah karena kehancuran hutan alam, habitat hidup mereka.

Diharapkan bila nanti mekanisme imbal jasa atas pengurangan emisi karbon melalui pencegahan deforestasi dan degradasi dilaksanakan, kemungkinan besar petani agroforestri karet juga akan memperoleh insentif tambahan.

“Saat ini saja, keberadaan demplot penelitian dan berbagai kegiatan kunjungan lapangan yang dilakukan ICRAF sudah mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat. Pengetahuan petani bertambah dan mereka tidak lagi ragu menanam karet unggul dengan sistem agroforestri,” tambah Ratna. [AF/RA/JD]

RAS 1: Sistem Agroforestri Ekstensif
Merupakan sistem agroforestri ekstensif yang pengelolaannya setara dengan karet rakyat, dimana bahan tanam karet asal seedling diganti dengan karet klonal yang mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang menyerupai hutan sekunder seperti sistem agroforestri. Produksi karet klonal tahun kedua pada RAS 1 berkisar antara 1200-1700 kg/ha/tahun
RAS 2: Sistem Agroforestri Intensif
Merupakan sistem agroforestri kompleks dengan pengelolaan relatif intensif, dimana karet klonal ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan, buah-buahan, dan tanaman penghasil kayu. Produksi karet klonal tahun kedua dan ketiga pada RAS 2 berkisar antara 1100-1300 kg/ha/tahun.
RAS 3: Reklamasi Lahan Alang-Alang
Merupakan sistem agroforestri kompleks yang dibangun untuk merehabilitasi lahan alang-alang dengan mengintegrasikan karet dengan jenis tanaman lain yang cepat tumbuh dan menutup permukaan tanah di antara barisan tanaman karet, sehingga pertumbuhan alang-alang terhambat. Tanaman pangan sebagai tumpangsari hanya dilakukan pada tahun pertama kemudian diikuti dengan kombinasi penanaman kacang-kacangan penutup tanah dan pohon cepat tumbuh penghasil pulp. Produksi karet klonal tahun ketiga pada RAS 3 berkisar antara 1100-1300 kg/ha/tahun.

CATEGORIES:

Uncategorized

Tags:

Comments are closed

Pencarian

Bagikan