Tahun 2003, melalui Departemen Kehutanan, pemerintah menetapkan kawasan Gunung Halimun-Salak
seluas 113.357 hektar yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten sebagai kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Penetapan ini didasarkan pada zonasi yang dilakukan
pemerintah Belanda pada masa kolonial serta pemerintah Indonesia antara tahun 60an dan 80an.
Penetapan sebuah kawasan sebagai taman nasional berarti selain yang berhak tidak diperbolehkan masuk
apalagi memanfaatkan segala sesuatu yang berada di dalam lingkup kawasan.
Itulah sekelumit cerita mengenai konflik tenurial di kawasan Gunung Halimun-Salak yang berhasil diungkap melalui RaTA (Rapid Tenure Appraisal), sebuah metode identifikasi konflik kepemilikan lahan (tenurial) yang dikembangkan oleh World Agroforestry Centre (ICRAF).
“Sebenarnya, yang lebih penting bukanlah apa yang berhasil diungkap, tetapi bagaimana proses pengungkapan itu sendiri. Apakah semua data pendukung masingmasing klaim sudah lengkap dikumpulkan, apakah semua pihak yang berkonflik sudah mengungkapkan semua yang ingin mereka suarakan, dan bagaimana analisa pemangku kepentingan dilakukan,” jelas Gamma Galudra peneliti ICRAF yang bersama beberapa rekannya masih terus menyempurnakan metode RaTA, salah satunya di wilayah barat TNGHS dimana konflik klaim menunjukkan eskalasi yang besar.
RaTA dikembangkan dengan tujuan memperjelas klaim legal maupun historis yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkonflik dalam suatu kawasan. Asumsi dasar yang dipakai adalah kualitas negosiasi antar pihak-pihak yang bersengketa akan meningkat bila dilakukan berdasarkan informasi lengkap. Dengan sendirinya, kualitas resolusi konflik juga akan meningkat.
“Sebagai sebuah kerangka analisa, RaTA berfungsi sebagai petunjuk dalam menemukan dan mengumpulkan data yang diperlukan oleh pembuat keputusan atau mediator dalam mengembangkan resolusi konflik, baik yang didasarkan pada kebijakan legal maupun adat,” tambah Gamma. Apa yang diungkap Gamma merupakan salah satu komponen penting dalam RaTA yaitu berkaitan dengan mekanisme penyelesaian konflik.
Dalam penelitian RaTA sebelumnya di wilayah konflik Gunung Halimun-Salak, ditemukan fakta bahwa hampir 70% sumber kehidupan masyarakat sekitar bergantung pada sumber daya yang berada di dalam kawasan taman nasional.
“Dapat dimengerti kalau masyarakat lokal memang sangat berkepentingan dalam mempertahankan klaimnya. Bila isu-isu semacam ini tidak segera ditanggulangi, dikhawatirkan konflik yang ada akan terus berkembang dan pada gilirannya akan memberi dampak negatif pada keragaman hayati di wilayah Gunung Halimun-Salak,” lanjut Gamma.
Kawasan Gunung Halimun-Salak memang sudah diakui sebagai salah satu kawasan di Pulau Jawa yang masih memiliki tingkat keragaman hayati tinggi serta fungsi-fungsi sosial dan ekologis yang sangat penting. Gamma juga menuturkan bahwa konflik tenurial bersifat dinamis sehingga diperlukan kehati-hatian.
Sepuluh sumber konflik tenurial:
- Perubahan pemerintahan (adat, kolonial, kemerdekaan)
- Status ganda (hukum pemerintah dan adat)
- Batas lahan
- Tumpang tindih penguasaan lahan
- Kurangnya pengakuan terhadap hukum adat
- Tidak adanya catatan status kepemilikan
- Perluasan lahan pertanian
- Ketimpangan ekonomi
- Pengungsian
- Adanya migrasi masuk
Sumber: Pengalaman penerapan RaTA di berbagai wilayah di Indonesia (Jawa Barat,
Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat)
“Tanpa penyajian data yang baik maka konflik tidak akan berhasil terselesaikan secara tuntas. Dalam beberapa kasus, kesepakatan penyelesaian konflik yang sudah dicapai pada akhirnya dilanggar juga.”
Pengalaman ICRAF dengan RaTA di Gunung Halimun-Salak telah menginspirasikan beberapa pihak untuk menciptakan opsi penyelesaian sengketa seperti Kampung dengan Tujuan Konservasi (KdTK) dan Model Kampung Konservasi (MKK). Walaupun kedua opsi tersebut dikembangkan oleh pihak yang berbeda, KdTK oleh RMI (Rimbawan Muda Indonesia) dan MKK oleh JICA (Kerjasama Jepang Indonesia), keduanya memiliki kesamaan yaitu upaya penyelesaian sengketa yang berbasis pada keakuratan data. Salah satu sumber datanya adalah hasil analisis RaTA.
“RaTA membantu semua pihak memahami aspek-aspek konflik yang mereka hadapi. Setelah informasi dibuka lengkap, semua suara didengarkan, maka meja negosiasipun digelar untuk menentukan pilihan terbaik penyelesaian sengketa,” kata Gamma menjelaskan kontribusi RaTA dalam konflik tenurial di kawasan Gunung Halimun-Salak. [GG/AF]
Comments are closed