Mengukur Karbon di Lahan

“Jalannya yang lurus Mat. Jangan belok-belok,” teriak Taryono kepada Rachmat yang sedang menarik ujung pita ukur. Rachmat menoleh dan tersenyum. Rupanya dia berjalan melenceng terlalu ke kanan. Keduanya sedang membuat plot berukuran 40 X 5 meter di areal hutan di komplek perkantoran CIFOR Bogor tempat mereka melakukan praktek mengukur karbon dan analisa vegetasi. Tidak jauh dari mereka, Arwin bersama beberapa rekannya sibuk mementangkan tali rafia penanda plot praktek pengukuran.

Setelah menyelesaikan dua plot berukuran sama, Taryono, Rachmat, Arwin, dan empat rekan lainnya membagi diri menjadi dua kelompok dan menuju plot masing-masing. Anggota kelompok berbagi tugas: mengukur diameter dan memperkirakan tinggi pohon serta mengidentifikasi jenis spesiesnya. Salah seorang anggota kelompok bertugas mencatat data. Terdengar senda gurau riang ketika mereka berdebat menentukan pohon yang masuk kriteria untuk diukur. Pohon-pohon dengan diameter di bawah 5 cm tidak perlu diukur karena termasuk kelompok tumbuhan bawah. Ada cara lain untuk mengukur karbon yang tersimpan di dalamnya.

Taryono dan keenam rekannya adalah staf Yayasan Puter yang beralamat di daerah Kedung Badak, Bogor. Tanggal 8 sampai 10 Juli 2008 lalu mereka mengikuti pelatihan teknik pengukuran karbon dan analisa vegetasi yang difasilitasi oleh World Agroforestry Centre (ICRAF).

Pelatihan yang diadakan selama tiga hari tersebut merupakan permintaan dari Yayasan Puter. “Saat ini yayasan kami sedang menjalin kerja sama dengan lembaga CIMTROP Universitas Palangkaraya untuk melakukan beberapa penelitian di hutan gambut Kalimantan Tengah,” jelas Taryono yang menjabat sebagai Direktur Program Yayasan Puter.

“Kami selaku mitra CIMTROP merasa sangat perlu memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam melakukan survei atau penelitian, terutama dalam hal pengukuran karbon tersimpan dan alaisa vegetasi. Pengalaman yang kami peroleh dari pelatihan ini akan sangat berguna sebagai bahan dalam melakukan diskusi di lapangan maupun saat melakukan analisa hasil.”

Fasilitator pelatihan, Subekti Rahayu atau yang biasa dipanggil Bu Yayuk, menjelaskan bahwa pelatihan tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan peserta latih. “Hari pertama berupa penyampaian materi mengenai cara pengukuran karbon tersimpan dan analisis vegetasi. Hari kedua praktek lapangan dan hari ketiga pengolahan data,” jelas Bu Yayuk.

Sebelumnya, pelatihan sejenis pernah diadakan oleh ICRAF di beberapa tempat. Pada bulan Oktober 2003 tim peneliti ICRAF yang terdiri dari Desi Suyamto, Kusuma Wijaya dan Subekti Rahayu memberikan pelatihan kepada staf CARE Indonesia di Nunukan, Kalimantan Barat. Selanjutnya, bekerjasama dengan Conservation International Indonesia, ICRAF juga menyelenggarakan pelatihan bagi staff dan relawan organisasi konservasi ini di Bodogol, Sukabumi pada bulan Maret 2005.

Pertengahan tahun 2007, tim fasilitator ICRAF dan Universitas Brawijaya yang terdiri dari Dr. Meine van Noordwijk, Prof. Dr. Kurniatun Hairiah, Betha Lusiana dan Subekti Rahayu berangkat ke Gorontalo, Sulawesi Utara untuk memberikan pelatihan bagi staf Yayasan YANI (Yayasan Adudu Nantu Indonesia) yang bermaksud mengukur karbon di kawasan hutan Nantu.

Awal tahun 2008, ICRAF kembali bekerjasama dengan Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya untuk mengadakan pelatihan pengukuran karbon di tingkat plot dan ekstrapolasinya ke tingkat bentang lahan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi) bagi peserta nasional dari berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi dan LSM. Pelatihan di Malang, Jawa Timur tersebut diadakan dalam rangka implementasi program RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal) yang dikembangkan oleh ICRAF, Keahlian ICRAF dalam teknik pengukuran karbon diungkapkan oleh Guru Besar Jurusan Tanah Universitas Brawijaya Malang, Prof. Dr. Kurniatun Hairiah.

”Mempelajari neraca karbon di alam ibaratnya mengamati keuangan di mesin ATM…. ada karbon yang disimpan (saldo) dan ada pula yang dilepaskan ke atmosfer. Teknik pengukuran karbon yang dilakukan ICRAF sama halnya dengan mengukur saldo uang, artinya mengukur karbon yang ’tersimpan’ pada suatu lahan. Pendekatan ini jauh lebih mudah dari pada mengukur lalu lintas keluar masuknya karbon ke lahan melalui fotosintesis dan emisi CO2 yang selalu berubah setiap saat. Pada tahun 1994 teknik pengukuran karbon ini diperkenalkan oleh kelompok peneliti dari TSBF (Tropical Soil Biology and Fertility, di Kenya) yang tergabung dalam kegiatan penelitian Alternatif Tebang Bakar (Alternatives to Slash and Burn) bertaraf internasional yang dikoordinir oleh ICRAF. Teknik tersebut telah diuji di tiga negara yang terpilih yaitu Indonesia, Kamerun dan Peru. Hasilnya telah banyak disitir dalam laporan ilmiah IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) sebagai dasar pertimbangan kebijakan penanganan pemanasan global di tingkat internasional. Sebagai upaya penyebar luasan teknik pengukuran karbon ini, ICRAF telah melakukan pelatihan di beberapa negara Asia lainnya antara lain Thailand, Vietnam dan Filipina”.

Bersama Subekti Rahayu, Prof. Kurniatun menulis buku berjudul ”Petunjuk Praktis: Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan”. Buku ini memberikan informasi mengenai latar belakang mengapa karbon tersimpan perlu diukur. Secara rinci, buku ini memaparkan cara mengukur karbon tersimpan pada tingkat plot maupun di tingkat kawasan, sehingga dapat digunakan sebagai panduan bagi petugas lapangan dan pengambil kebijakan dalam memahami masalah perubahan iklim global. Selain itu, Prof. Kurniatun bersama Dr. Meine van Noordwijk dari ICRAF menulis bahan ajar sederhana yang dilengkapi dengan seri slide tentang Karbon Daratan dan Pemanasan Global. Bahan yang sama juga tersedia untuk perguruan tinggi dan dapat diakses di www.worldagroforestry.org/SEA/Publications/index.asp.

CATEGORIES:

Uncategorized

Tags:

Comments are closed

Pencarian

Bagikan