Ngobrol Santai: Working Group-Tenure

‘Ngobrol’ yang direncanakan setengah jam, molor hingga satu setengah jam. Martua Sirait bercerita tentang Working Group – Tenure, sebuah kelompok kerja yang berkiprah dalam masalah konflik penguasaan tanah di kawasan hutan. Martua menjabat sekretaris dalam Badan Pengurus WG-Tenure mewakili perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Saat ini, Martua sedang menyiapkan disertasi doktoralnya di Institute of Social Studies (ISS) Den Haag yang mengambil tema penyelesaian konflik penguasaan tanah di kawasan hutan. Berikut adalah petikan dari bincang-bincang di Café CIFOR, Bogor, sore tanggal 23 Juli 2008 lalu.

Apakah WG-Tenure itu?

WG-Tenure itu kelompok kerja multipihak yang beranggotakan sekitar 30 lembaga, terdiri dari badan usaha kehutanan, pemerintah dari berbagai sektor, organisasi rakyat dan organisasi non pemerintah yang memiliki cita-cita tinggi yaitu menyelesaikan kasuskasus konflik pertanahan di kawasan hutan, baik di hutan lindung, produksi, konservasi, maupun di wilayah yang dikecualikan dari kawasan hutan.

Apakah cita-cita itu sudah tercapai?

Arah ke sana sudah ada. Para pihak sudah mulai belajar meninggalkan cara-cara kekuasaan dan mulai memahami karakteristik dan tipologi penyelesaian konflik yang beragam. Paling tidak WG-Tenure menjadi wadah belajar bersama dan bertanya tentang berbagai masalah konflik penguasaan tanah di kawasan hutan. Awal 2007 sebuah buku terbitan WG-Tenure dan Departemen Kehutanan lahir dari kalangan swasta menunjukan bahwa masalah ini bukan masalah organisasi rakyat dan ornop saja, tetapi masalah kita bersama. [Buku yang dimaksud berjudul “Konflik Sosial Kehutanan: Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik”. Penulisnya adalah Lisman Sumardjani, seorang anggota WGTenure dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Pada pertengahan 2006, diterbitkan buku lain dari anggota WG-Tenure dari kalangan akademisi berjudul “Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah; Permasalahan dan Kerangka Tindakan, oleh Arnoldo Contreras-Hermosilla & Chip Fay (ICRAF)].

Apa saja kegiatan WG-Tenure?

Kami mengadakan round table discussion membahas berbagai permasalahan konflik pertanahan di kawasan hutan dan berbagi pengalaman dalam menyelesaikan konflik. Pada bulan November 2007, dilakukan roundtable dicussion ke III dengan tema Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyakat Sipil. Bulan Juni 2008 lalu (Kantor BAPLAN Bogor), kami membahas PP 3/2008 yang merupakan revisi PP 6/2007. Selain itu, WG-Tenure menerbitkan majalah 3 bulanan ‘Warta Tenure’dan semua publikasi serta proses belajar yang dibangun dapat diunduh di website WG-Tenure www.wg-tenure.org. WG-Tenure juga bekerja sama dengan berbagai lembaga seperti ICRAF dan HuMa dengan dukungan dana dari Partnership for Governance Reform. Saat ini WG Tenure melakukan pelatihan Rapid Land Tenure Assesment (RaTA) untuk memahami tumpang tindih klaim di kawasan hutan.

Mengapa persoalan tenure dianggap sensitif?

Membuka isu-isu konflik pertanahan di kawasan hutan adalah seperti membuka kotak pandora. Ada kecemasan karena kita tidak siap mengetahui isi kotak. Kita cenderung menabukan perbincangan mengenai perbedaan atau konflik, padahal pengelolaan hutan mensyaratkan penyelesaian konflik penguasaan tanah guna tercapai pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Terlebih lagi di masa Orde Baru hanya ada satu interpretasi yang diakui, yaitu interpretasi oleh negara. Syukurlah saat ini para pihak sudah paham bahwa konflik pengusaan tanah di kawasan hutan merupakan hal yang harus dipecahkan. TAP MPR no 9/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam memandatkan hal ini. Departemen Kehutanan dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) sudah memasukkan masalah ini dalam prioritas kerjanya.

Alat apa yang diperlukan dalam penyelesaian konflik?

Nah, disinilah peran anggota untuk mengisi dengan pemahamanpemahaman baru. Sebagai lembaga penelitian, ICRAF dan lembaga lainnya memiliki sumberdaya untuk mengkaji permasalahan tersebut. Saat ini ICRAF dan mitranya mengembangkan RaTA (Rapid Land Tenure Assesment) – sebuah alat untuk mengetahui secara cepat apakah ada tumpang tindih penguasaan atas tanah. Metode ini dikhususkan pada wilayah-wilayah dimana konflik penguasaan tanah belum mencuat (konflik laten). Sedangkan metode HuMa-Win yang dikembangkan oleh anggota WG-Tenure yang lain, yaitu HuMa dan mitranya, dikhususkan pada pengelolaan data yang lebih kompleks dengan konflik yang mencuat dalam bentuk kejadian-kejadian kekerasan (konflik manifest). Kedua alat ini dirasa cukup efektif dan perlu dikembangkan terus guna merespon permasalahan konflik pertanahan di kawasan hutan. Selain alat yang ada, melalui Training for Trainer oleh anggota WG-Tenure, diharapkan dihasilkan cukup banyak tenaga terampil untuk terjun dalam penyelesaian konflik.

Apa kunci sukses WG-Tenure bertahan hampir 7 tahun?

Terletak pada sistem kelembagaannya yang bersifat ad-hoc. WGTenure tidak berbadan hukum. Anggota mendapatkan penugasan formal dari lembaga masing-masing melalui Surat Keputusan resmi, sehingga komitmen mereka tinggi. Model yang berhasil bukanlah melembagakan WG-Tenure, tetapi mengikat anggota ke dalam WG-Tenure. Badan Pengurus dipilih anggota dan Sekretariat Harian dijadikan pusat koordinasi kegiatan.

Bisa dijelaskan lagi peran ICRAF dalam WG-Tenure?

ICRAF bersama mitra-mitranya memberikan sumbangan substantif berupa hasil-hasil penelitian terapan. Misalnya, metodologi RaTA yang lahir dari kenyataan banyaknya konflik laten di lahan kawasan hutan. Demikian juga metode-metode lain yang dikembangkan ICRAF untuk memperbarui pengetahuan kita dan para pihak yang berkonflik, agar kualitas negosiasi menjadi lebih baik. Bila proses negosiasi menggunakan data-data yang terus terbarukan, maka cara-cara penyelesaian melalui cara kekuasaan dapat sejauh mungkin ditinggalkan.

CATEGORIES:

Uncategorized

Tags:

Comments are closed

Pencarian

Bagikan