Pendekatan Bottom-up dalam Menghitung Biaya untuk Menurunkan Emisi Karbon (Abatement cost) dari Deforestasi dan Degradasi

Bagaimana mengukur emisi karbon yang ditimbulkan oleh konversi atau perubahan penggunaan lahan? Berapa jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfir bila hutan di Jambi diubah menjadi perkebunan sawit atau karet? Bagaimana bila lahan gambut Kalimantan dikeringkan menjadi sawah? Apakah konversi hutan memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan insentif yang dapat diperoleh dari mekanisme penjualan karbon internasional?

Itulah beberapa pertanyaan yang ingin dijawab para peneliti dari World Agroforestry Centre (ICRAF) melalui penghitungan emisi karbon dan penghitungan biaya untuk menurunkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation – REDD) dengan pendekatan bottom-up. “Sementara ini, berbagai batasan yang digunakan dalam negosiasi mengenai insentif atau kompensasi REDD ditentukan oleh negara-negara maju. Beragam praktek pemanfaatan lahan di lapangan tidak dipertimbangkan. Bahkan dalam wacana perdagangan karbon sekarang ini, kita terbiasa menggunakan perhitungan skala nasional, padahal level sub-nasional juga penting,” jelas Dr Sonya Dewi, peneliti ICRAF yang berkecimpung dalam penelitian mengenai penghitungan emisi karbon.

Menjawab persoalan yang dipaparkan Sonya, belakangan ini ICRAF bersama mitra kerjanya dalam penelitian ASB (Alternatives to Slash and Burn) gencar mengembangkan metode bottom-up yang mempertimbangkan sifat kondisionalitas dan realistis imbal jasa lingkungan.

Kondisionalitas artinya mekanisme penghitungan emisi karbon dalam mekanisme REDD harus mencakup semua jenis pemanfaatan lahan yaitu lahan pertanian, hutan, dan lahan lainnya atau yang dikenal dengan AFOLU (Agriculture, Forest, and Other Land Use systems). “Salah satu perdebatan hangat yang terjadi saat ini adalah menyangkut definisi kawasan yang dianggap bisa masuk dalam mekanisme REDD. Apakah hanya hutan saja yang bisa masuk? Hutan seperti apakah? Dengan pohon dan tutupan lahan seperti apa?Bagaimana dengan kebun yang dikelola petani? Atau perkebunan sawit atau karet dalam sekala besar? Lalu status kawasan gambut tak berpohon bagaimana?” kata Dr Meine van Noordwijk, peneliti senior ICRAF. Tentang sifat realistis, Sonya menjelaskan, “Kami juga menghitung nilai kesempatan yang hilang (opportunity cost). Ini penting untuk melihat apakah mekanisme REDD menarik untuk diterapkan. Kalau ternyata opportunity cost-nya tinggi, secara realistis masyarakat sebagai penjual jasa lingkungan tidak akan tertarik. Pihak pembeli jasa lingkungan juga tidak tertarik karena biaya untuk menurunkan emisi karbon (abatement cost) tinggi. Mekanisme REDD tidak akan laku!”

Sonya menegaskan penebangan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan karet dan sawit di Jambi tidak akan membawa keuntungkan ekonomi yang tinggi. “Masih realistis untuk membiarkan lahan hutan gambut seperti apa adanya apabila masyarakat mendapatkan kompensasi yang layak dari REDD.” REDD merupakan mekanisme internasional yang dibicarakan dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim ke-13 akhir tahun 2007 lalu di Bali. Negara berkembang dengan tutupan hutan tinggi selayaknya mendapatkan kompensasi apabila berhasil menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi dengan melakukan berbagai hal seperti mencegah pembalakan hutan, kebakaran hutan, hingga konversi hutan. Masalahnya, sebelum dicapainya kesepakatan tentang REDD dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim ke-14 di Poznan, Polandia akhir tahun ini, nampaknya negara-negara yang memiliki kapasitas menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi seperti Indonesia masih harus sabar menunggu. Sonya berharap, pendekatan bottom-up dalam menghitung emisi karbon dan biaya menghindari emisi karbon yang dikembangkan dan dilakukan oleh para peneliti di ICRAF setidaknya akan menjadi bahan bagi para negosiator REDD di Poznan. “Mudah-mudahan dengan kesepakatan yang dicapai di Poznan nanti, petani dan pemilik lahan di Indonesia bisa memperoleh kompensasi yang layak dan adil, sehingga mereka tidak lagi tertarik untuk melakukan konversi lahan yang menjurus ke arah deforestasi dan degradasi lahan. Dengan demikian emisi karbon bisa diturunkan dan pemanasan global bisa dikurangi lajunya,” kata Sonya. [AF/SD]

CATEGORIES:

Uncategorized

Tags:

Comments are closed

Pencarian

Bagikan