Oleh: Subekti Rahayu, Endri Martini, dan Meine van Noordwijk
Kebakaran lahan gambut pada musim kemarau 2015 mencapai lebih dari 600.000 hektar, menurut Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Penganggulangan Bencana Nasional. Kalimantan mengalami kebakaran paling luas yaitu sekitar 319.386 hektar, diikuti Sumatra seluas 267.974 hektar dan Papua 31.214 hektar.
Dampak kebakaran lahan gambut tersebut tidak hanya dialami oleh masyarakat lokal tetapi juga mengakibatkan permasalahan di tingkat nasional dan internasional karena asap yang dihasilkan mengganggu sarana transportasi. Belum lagi, dampak terhadap kerusakan lingkungan dalam jangka panjang akibat kebakaran lahan gambut. Besarnya dampak kebakaran lahan gambut ini menjadi dasar pemerintah Indonesia merevisi Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Ekosistem Gambut dengan Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016 yang memasukkan pernyataan larangan membuka lahan gambut bagi masyarakat dan perusahaan hingga ditetapkan zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya.
Dengan diterbitkannya kebijakan baru tersebut, masyarakat lokal yang menggarap lahan gambut terkena dampak langsung dari pelarangan pembukaan lahan gambut, terutama pembukaan lahan gambut dengan membakar. Masyarakat lokal yang memiliki budaya secara turun menurun dalam mengelola lahan gambut dangkal dengan membakar sebelum memulai bercocok tanam harus merubah kebiasaan tersebut.
Tidak mudah mengubah kebiasaan yang sudah turun temurun dijalankan oleh masyarakat lokal dalam mengelola lahan gambut. Bahkan, pasca diterbitkannya kebijakan pelarangan pembukaan lahan gambut dengan membakar, banyak masyarakat lokal yang tidak menggarap lahan sehingga kehilangan sumber bahan makanan pokok, yaitu beras. Akibatnya, mereka harus mengeluarkan uang untuk membeli beras.
Tradisi budidaya padi di lahan gambut
Sonor adalah budidaya padi di lahan gambut yang diterapkan oleh masyarakat di Sumatera. Pada akhir musim kemarau umumya masyarakat di sekitar lahan rawa gambut menyiapkan lahan dengan membakar semak belukar atau rumput-rumputan. Pembakaran ini bertujuan untuk membersihkan lahan dan mendapatkan abu agar keasaman lahan gambut berkurang serta menghasilkan kandungan karbon dari bagian tumbuhan yang terbakar sehingga tanaman padi tumbuh dengan baik. Selain itu, pembakaran juga bertujuan membunuh atau mengusir hama yang bersarang di semak belukar dan rerumputan seperti tikus, walang sangit dan kepik.
Setelah pembakaran lahan selesai dan mulai turun hujan, benih padi ditebar. Tanpa pemupukan, pembersihan gulma dan pemerantasan hama penyakit, tanaman padi dibiarkan tumbuh. Ketika padi siap panen, masyarakat baru mendatangi lahan untuk memanen. Penanaman padi di lahan gambut hanya dilakukan sekali setahun.
Tidak hanya masyarakat di Sumatera yang menerapkan penyiapan lahan dengan membakar. Namun, masyarakat di Kalimantan Tengah juga menerapkan cara yang sama. Penanaman padi di lahan gambut hanya dilakukan pada gambut-gambut dangkal yang memiliki ketebalan kurang dari tiga meter.
Dampak kebijakan pelarangan pembukaan lahan gambut dengan membakar
Kebijakan pelarangan membakar lahan gambut secara langsung berpengaruh terhadap ketersediaan bahan makanan pokok bagi rumah tangga petani. Budidaya padi tidak bisa dilakukan lagi. Masyarakat telah mencoba melakukan budidaya padi dengan tanpa membakar tetapi hasilnya tidak optimal. Menurut pengakuan petani di Katingan, Kalimantan Timur dan di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, tanaman padi tumbuh tetapi tidak menghasilkan bulir karena serangan walang sangit dan tikus. Gagal panenpun dialami oleh petani, sehingga harus membeli beras untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Bantuan pemerintah berupa traktor untuk mencetak sawah di lahan gambut, pupuk kimia dan pestisida belum mampu menyelesaikan permasalahan.
Traktor sulit dioperasikan di lahan gambut, sehingga upaya untuk mencetak sawah tidak berhasil. Belum lagi, kualitas pupuk dan pestisida yang didistribusikan dianggap belum memenuhi standar yang diharapkan. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang petani di Katingan dan Ogan Komering Ilir.
Diversifikasi usaha tani sebagai strategi untuk mendapatkan penghasilan di lahan gambut Pak Udin, salah seorang petani muda yang aktif, tidak tinggal diam dengan permasalahan pasca diterbitkannya kebijakan pelarangan pembukaan lahan gambut dengan membakar. Belajar dan mencoba berbagai alternatif usaha tani dilakukan agar tetap memperoleh pendapatan dari lahan gambut yang digarap.
Menebas belukar dan rerumputan serta menumpuk bekas tebasan di dalam lahan untuk dijadikan kompos dilakukan oleh Pak Udin sebagai tahap awal dalam mempersiapkan lahan. Apabila mulsa sudah lapuk, dimulailah penanaman. Pelapukan mulsa dipercepat dengan menggunakan bahan EM4 yang dicampur dengan kotoran burung wallet, gula pasir dan air kelapa. Bahan ini sekaligus sebagai pupuk untuk tanamannya. Lahan garapan seluas dua hektar ini dibagi dalam petak-petak. Masing-masing petak ditanami jenis tanaman berbeda (Gambar 1).
Selain tanaman sayur-sayuran seperti caisin, terong, labu kuning, kacang panjang, mentimun, papaya dan jagung, Pak Udin juga menanam padi meskipun hasilnya kurang memuaskan karena serangan hama walang sangit (Gambar 2). Pak Udin membiarkan beberapa jenis tanaman seperti sintrong (Erechtites sp.) dan ki pahit (Titonia sp.) untuk mengendalikan hama. Daun sintrong dihancurkan hingga menghasilkan cairan untuk di semprotkan ke tanaman. Sementara, ki pahit dibiarkan tumbuh untuk menarik serangga, sehingga tidak menyerang tanaman budidaya.
Meskipun panen padi gagal, Pak Udin masih punya sumber pendapatan alternatif, yaitu menjual hasil panen sayur-sayuran, pupuk cair yang dibuat sendiri dan sarang wallet yang dibangun di lahan tersebut. Namun, Pak Udin mengaku bahwa kebakaran berdampak terhadap hasil sarang waletnya. Sebagian burung wallet meninggalkan sarang karena ketersediaan serangga sebagai sumber pakan berkurang pasca kebakaran.
Tidak hanya Pak Udin, petani Suku Dayak asli Katingan yang mengembangkan penganeka-ragaman jenis usaha tani di lahan gambut. Pak Min, petani transmigran asal Pacitan, Jawa Timur juga mengembangkan usaha tani serupa. Pak Min mengembangkan agroforestri antara tanaman tahunan berupa karet dan petai dengan tanaman semusim seperti caisin, kacang panjang, singkong, serai wangi. Sistem agroforestri pada lahan gambut dilakukan dengan cara membuat guludan (Gambar 2). Selain tanaman, Pak Min juga memelihara ternak kambing dan membuat pupuk cair untuk dijual, seperti yang dilakukan oleh Pak Udin. Berbagai alternatif usaha tani di lahan gambut memungkinkan untuk dikembangkan dengan tanpa membakar lahan, tetapi masih memerlukan jalan panjang uji coba untuk mendapatkan hasil optimal.
Comments are closed