RPPEG Sumatera Selatan: Upaya Strategis Melestarikan Ekosistem Gambut di Sumatera Selatan

Oleh: Anugerah Yuliadi

Gambut saat ini bukan lagi menjadi hal yang “asing” bagi masyarakat. Sebaliknya, kini gambut menjadi berita utama dalam pemberitaan mengenai kebakaran hutan dan lahan yang marak terjadi belakangan ini. Kebakaran yang juga terjadi pada lahan gambut, membuat indonesia menjadi sorotan utama disebabkan asap yang dihasilkan dari kebakaran tersebut tidak hanya berdampak pada daerah yang terbakar, tetapi juga sampai ke wilayah lainnya bahkan juga sampai ke negara tetangga. Tentu saja hal tersebut bukan suatu yang dapat dibanggakan, justru sebaliknya. Terlebih gambut merupakan rumah bagi cadangan karbon terbesar yang ada di daratan.

Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi prioritas di Indonesia dalam penanganan ekosistem gambut. Sumatera Selatan menjadi rumah bagi ekosistem gambut terluas di Pulau Sumatera setelah Provinsi Riau. Oleh karena itu, Pemerintah Sumatera Selatan bersama ICRAF Indonesia melalui program Land4Lives berkomitmen dalam melindungi dan merestorasi ekosistem gambut guna mendukung penghidupan masyarakat di Sumatera Selatan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup melalui penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Sumatera Selatan.

Apa yang terjadi apabila gambut rusak?

Gambut memiliki sifat seperti spons yang dapat menyerap dan menampung banyak air di dalamnya, sebagai penyerapan air ini tentu saja gambut sangat berperan penting sebagai pengendalian secara alami dari kebanjiran dan kekeringan. Rusaknya ekosistem gambut dapat mengurangi bahkan menghilangkan fungsi gambut sebagai spons tersebut.

Kerusakan ekosistem gambut disebabkan oleh masifnya pembukaan dan alih fungsi lahan yang digunakan untuk berbagai kepentingan. Kebutuhan akan lahan menuntut dibukanya lahan gambut dengan melakukan pengeringan melalui pembuatan kanal yang ditujukan sebagai saluran drainase dan juga jalur transportasi.

Akibat dari pengeringan dan kebakaran di lahan gambut mengakibatkan terjadi pelepasan cadangan karbon yang tersimpan selama ratusan tahun ke atmosfer, dan dapat merusak lapisan ozon, sehingga menimbulkan dampak nyata yang kita rasakan, yaitu naiknya suhu permukaan bumi.

Perlu ditekankan bahwa dampak kebakaran gambut tidak hanya memengaruhi sektor lingkungan, tetapi juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada sektor ekonomi, pertanian, perikanan, transportasi dan pendidikan.

Lalu Bagaimana Kondisi Gambut di Sumatera Selatan?

Lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan mencapai 2,09 juta hektare dengan 36 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang lokasinya tersebar di 7 kabupaten, atau sekitar 24,07% dari total wilayah provinsi. Ekosistem gambut terluas berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), mencapai 1,03 juta hektare atau 49,28% dari total ekosistem gambut di Provinsi Sumatera Selatan, diikuti dengan Kabupaten Banyuasin dengan 0,563 juta hektare atau 26,92% dan Kabupaten Musi Banyuasin dengan 0,359 juta hektare atau 17,16%. Tercatat sekitar 40% dari total luas keseluruhan ekosistem gambut di Sumatera Selatan berada dalam area konsesi, sehingga menunjukkan adanya pemanfaatan ekosistem gambut untuk kepentingan ekonomi. Di sisi lain, menurut KLHK, status kerusakan ekosistem gambut Provinsi Sumatera Selatan tahun 2022 menunjukkan bahwa seluas 46.381 hektare (2,22%) berada dalam klasifikasi rusak sangat berat dan 343.866 hektare (16,43%) rusak berat. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya strategis yang berkelanjutan untuk dapat menjaga dan memulihkan ekosistem gambut.

Pengelolaan ekosistem gambut di Sumatera Selatan mengalami berbagai tantangan, di antaranya karena tekanan alih fungsi lahan yang cukup masif, terutama untuk menunjang berbagai kebutuhan ekonomi masyarakat seperti lahan pertanian dan perkebunan. Perkembangan lahan gambut sejak tahun 1990 hingga 2017 tercatat mengalami alih fungsi yang cukup masif untuk pertanian skala besar. Sebagian besar ekosistem gambut Sumatera Selatan mengalami deforestasi. Selain itu, kebakaran lahan gambut pada tahun 2015 turut berdampak pada degradasi lahan gambut dan memberikan kerugian bagi penghidupan masyarakat.

Kebakaran lahan gambut yang cukup besar terulang kembali pada tahun 2019. Hal ini menjadikan kebakaran lahan gambut sebagai isu yang krusial akibat dampaknya pada peningkatan degradasi dan kerusakan lingkungan yang lebih luas. Beranekaragam flora dan fauna yang hidup di ekosistem gambut, termasuk dalam kategori yang dilindungi yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis). Untuk flora, tidak kurang dari 30 jenis pohon dari 21 famili, beberapa di antaranya sudah mulai dilindungi.

Melihat kondisi ekonomi pada masyarakat yang tinggal di sekitar ekosistem gambut, cukup banyak masyarakat yang masuk dalam kategori miskin. Salah satu faktor penyebabnya adalah infrastruktur konektivitas bagi masyarakat yang masih sangat terbatas. Tidak sedikit wilayah yang hanya dapat di akses melalui jalur air karena belum tersedianya jalur darat, dengan kondisi yang rusak, bahkan tidak bisa dilalui saat musim penghujan. Minimnya infrastruktur yang tersedia, menyebabkan tingginya harga kebutuhan pokok serta besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menyalurkan hasil bumi.

Foto 1. Sekelompok gajah yang terlihat dari berkeliaran tidak jauh dari wilayah pertanian dan
pemukiman warga di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Banyuasin.
Foto 2. Jalur air memiliki peran penting sebagai jalur transportasi bagi masyarakat.

Mengapa RPPEG Penting?

Pemerintah sebenarnya tidak hanya diam, menjawab dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Upaya yang lebih kongkret juga dengan dibentuknya Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut yang kemudian diperbaharui menjadi Perpres Nomor 120 tahun 2021. Perpres ini dikeluarkan pada awal tahun 2016 untuk melakukan percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut, kemudian komitmen pemulihan gambut diperpanjang pada awal tahun 2021 dengan penambahan ekosistem mangrove sebagai target restorasi.

Menjawab amanat dari PP No.57 tahun 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyusun Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut Nasional Tahun 2020-2050 yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 246 Tahun

2020. Penyusunan dokumen RPPEG ini merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi ekosistem gambut dan mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut yang meliputi perencanaan.

Sebagai upaya pelestarian Gambut, ICRAF Indonesia melalui Program Land4Lives bersama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan turut mendukung upaya tersebut melalui penyusunan dokumen RPPEG Provinsi Sumatera Selatan. Gambut sebagai ekosistem yang unik dan memiliki berbagai fungsi pendukung bagi ekosistem membutuhkan upaya integratif dan komprehensif untuk perlindungan dan pengelolaan ekosistemnya, meliputi pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Pengelolaan gambut di Provinsi Sumatera Selatan menjadi prioritas karena kondisinya yang semakin lama semakin menurun. Penyusunan dokumen RPPEG dilakukan secara sistematis dan terpadu, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan di Provinsi Sumatera Selatan. Tim Kelompok Kerja penyusunan dokumen RPPEG terdiri dari multi-sektor yang terdiri dari Perangkat Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Tim Restorasi Gambut Daerah Sumatera Selatan, Akademisi, dan NGO/CSO. Bersama Pokja RPPEG Sumatera Selatan, penyusunan RPPEG Provinsi Sumatera Selatan mendetailkan strategi dan program yang dilakukan selama 30 tahun mendatang untuk mencapai tujuan melestarikan dan mencegah terjadinya kerusakan fungsi ekosistem gambut melalui berbagai proses diskusi terpumpun, konsultasi publik, dan asistensi ke KLHK secara partisipatif dengan muatan yang tepat sasaran.

Secara lebih spesifik, RPPEG Sumatera Selatan menyasar 5 (lima) isu strategis, yaitu: kebakaran hutan dan lahan, perubahan penggunaan lahan, kelestarian keanekaragaman hayati, kemiskinan di desa gambut, dan infrastruktur dan konektivitas. Melalui RPPEG, Sumatera Selatan memiliki berbagai target yang dirumuskan secara partisipatif dan spatially explicit guna mewujudkan restorasi dan pemanfaatan ekosistem gambut yang mendukung penghidupan masyarakat.

Dampak yang diharapkan dari RPPEG tidak hanya terbatas pada perlindungan ekosistem gambut, tetapi juga pada penguatan ketahanan masyarakat, peningkatan kesejahteraan, dan mitigasi serta adaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, RPPEG diharapkan menjadi kerangka strategis dalam menghadapi tantangan lingkungan dan perubahan iklim di masa mendatang, serta mendorong keberlanjutan pembangunan di Sumatera Selatan. Tentu saja upaya pelestarian gambut yang diharapkan tidak akan dapat diwujudkan, tanpa dukungan dari berbagai pihak baik itu pemerintah, swasta, masyarakat, lembaga kemasyarakatan dan para pihak.

CATEGORIES:

Artikel

Comments are closed

Pencarian

Bagikan