Data yang dikumpulkan dalam survei rumah tangga terhadap petani jati Gunungkidul pada bulan Juni-September 2007 menunjukkan bahwa 80% petani menanam jati sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Tujuan petani menanam jati terutama adalah sebagai tabungan/warisan keluarga (39% responden), sumber uang tunai yang cepat pada kondisi darurat (21%) dan biaya sekolah (10%).
“Saya tidak menjual dalam bentuk gelondongan. Kayu jati saya rajang dulu menjadi balok atau papan, baru saya jual. Ini namanya meningkatkan nilai tambah. Dengan begitu, saya bisa memperoleh harga yang lebih baik,” jelas Subardi (58 tahun) tentang balok dan papan kayu jati yang ditumpuk di halaman dan disandarkan di dinding depan rumahnya.
Bersama istri dan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, Subardi tinggal di Dusun Temon, Desa Giripurwo. Desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Sepertiga lahan agroforestri jati miliknya Subardi terpilih sebagai salah satu plot penelitian pemangkasan dan penjarangan jati.
“Awalnya, yang menanam jati di kebun adalah ayah saya, Mbah Marto. Beliau rajin menyemaikan bibit jati yang dipungutnya dari hutan jati di perbukitan selatan. Sejak saat itu, petani di dusun kami mulai mengikuti langkah tersebut.
Di sela-sela tanaman jati, petani masih bisa menanam palawija seperti padi, kedelai, kacang, dan singkong untuk keperluan sehari-hari. Tanaman palawija merupakan sumber pangan dan pendapatan yang digunakan untuk menunjang kebutuhan dasar rumah tangga. Di samping itu, mereka mengembangkan dan memelihara ternak seperti ayam, sapi dan kambing yang digunakan sebagai sumber uang tunai jika pendapatan dari palawija tidak mencukupi.
”Kita juga biasa menanam pohon kayu lainnya seperti sengon laut, akasia, melinjo, dan nangka” terang Subardi tentang sistem agroforestri jati yang banyak memberikan manfaat bagi dirinya dan para petani lain di Gunung Kidul.
Subardi boleh berbangga. Dia termasuk tiga dari 130 kepala Tebang Jati Bayar Semesteran “Saya tidak menjual dalam bentuk gelondongan. Kayu jati saya rajang dulu menjadi balok atau papan, baru saya jual. Ini namanya meningkatkan nilai tambah. Dengan begitu, saya bisa memperoleh harga yang lebih baik,” jelas Subardi (58 tahun) tentang balok dan papan kayu jati yang ditumpuk di halaman dan disandarkan di dinding depan rumahnya. keluarga di dusunnya yang mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Kedua anak lakilaki Subardi saat ini kuliah di Yogyakarta. Dadang (20 tahun) di Universitas Muhammadiyah dan Puput (18 tahun) di Universitas Ahmad Dahlan. Subardi memang bekerja 2 hari dalam seminggu sebagai staf bagian umum di salah satu instansi kesehatan di Yogyakarta, namun dia mengaku gajinya tidak seberapa. Untuk membayar uang kuliah kedua anaknya, Subardi mengandalkan pohon jati.
“Saya sangat bersyukur bisa menyekolahkan mereka. Bagi saya pendidikan adalah hal utama yang bisa saya wariskan. Walau berat biayanya, saya masih tetap bisa mengatasinya dengan jati,” ujar Subardi tersenyum. [AF]
Comments are closed