
Pekawai
kerabat durian yang kurang terkenal
tapi menyimpan potensi
Pak Aden kembali dari hutan membawa setumpuk buah berduri yang awalnya saya kira adalah durian. Namun, setelah saya amati lagi, ternyata buah itu agak berbeda dari durian. Ukurannya lebih kecil, durinya tidak begitu tajam; dan ketika dibuka, daging buahnya berwarna kuning-jingga mengkilap, kulit buahnya mulus, tidak begitu keriput, cenderung mengkal, dan – ini yang paling mengejutkan saya – baunya tidak menyengat.
“Ini buah pekawai terakhir. Maklumi, ya, buahnya sedikit dan tidak begitu bagus. Biasanya musim panen durian dulu, lalu pekawai. Sekarang sudah selesai, jadi sulit mencarinya,” tutur Pak Aden, salah satu tetua suku Dayak Iban di Desa Mensiau, Kalimantan Barat.
Saya cicipi buah itu. Teksturnya lengket dan kering, tidak seperti durian yang lembek dan mudah hancur. Rasanya manis tipis. Namun, baunya yang tidak menyengat tampaknya menjadi nilai tersendiri, karena kawan saya yang tidak suka durian pun pelan-pelan ikut doyan.
Pengalaman pada Februari 2025 itu, saat tengah menjalankan program pertanian cerdas iklim bersama petani dan penyuluh lokal dalam kegiatan Enhancing Climate-smart Agriculture Technologies and Practices of Smallholder Community (ECSAP) yang didukung oleh GIZ Indonesia, adalah pertemuan pertama saya dengan pekawai, atau biasa juga disebut lai oleh masyarakat Kalimantan. Buah dengan nama ilmiah Durio kutejensis ini adalah kerabat dekat durian (Durio zibethinus) tapi jarang sekali tampil di panggung utama buah-buahan Nusantara.
Tidak seperti kerabatnya yang jauh lebih terkenal, buah ini tidak mudah kita temui di pasar atau supermarket. Ketika musim panen tiba, pekawai hanya akan dijual per tumpuk di pinggir jalan. Pembeli akan mampir, mencicipinya di tempat, atau membelinya untuk dimakan di rumah.
Keberadaan pekawai ini semakin langka karena tidak banyak warga yang menanamnya. Warga umumnya lebih memilih belajar menanam sawit, berkebun durian, memanen kratom, atau menambang emas di sungai.
Batang-batang pekawai tersisa di sela-sela kebun karet yang mulai tak dirawat, atau di hutan-hutan desa yang masih terjaga. Dalam perancangan agroforestri berbasis karet, kopi, kakao, maupun kelapa sawit di Kapuas Hulu, pekawai juga tidak banyak disebut sebagai pilihan. Pohon-pohon buah lain seperti durian, alpukat, jengkol, dan petai lebih banyak dipilih sebagai tanaman pendamping dalam agroforestri.
Potensi yang belum tergali
Pekawai adalah salah satu contoh dari underutilized fruit trees (UFTs) — jenis-jenis pohon buah yang memiliki potensi tinggi namun belum dimanfaatkan secara optimal. Selain pekawai/lai, masih banyak kerabat durian lain yang bisa dikonsumsi, contohnya: kerantungan (Durio oxleyanus), apun (Durio excelsus), tuwala (Durio graveolens), sekura (Durio testudinarum), sukang (Durio grandiflorus), dan lahong (Durio dulcis). Dari beberapa jenis durian dan kerabatnya, hanya lima yang berhasil dibudidaya dan menghasilkan kultivar lokal. Itu pun masih kalah saing dengan kultivar luar yang lebih menjanjikan dan dipilih petani untuk ditanam di lahannya.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN, dahulu LIPI) mencatat pada 2007, masyarakat lokal di Indonesia memiliki setidaknya 270 jenis buah-buahan yang dapat dikonsumsi dan terdokumentasi. Namun, hanya segelintir yang rutin kita temui di lahan dan pasar. Salah satu penyebabnya ialah buah-buahan komersial yang saat ini dikembangkan lebih mengedepankan karakteristik rasa yang manis sebagai nilai jual. Sedangkan buah-buah lokal yang cenderung masam tidak begitu diminati.
Padahal, selain aspek rasa, aspek gizi juga penting. Buah yang manis berarti memiliki kadar gula yang tinggi, tapi kandungan gizi lain penting kita perhatikan; apalagi menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) Indonesia menghadapi masalah diabetes.
Sebagai contoh perbandingan, menurut penelitian Aziz dan Jalil yang diterbitkan pada tahun 2019, dalam 100 gram durian monthong terdapat 3,2 gram serat dan 14,89 gram gula. Sedangkan menurut penelitian saintis di Universitas Mulawarman pada 2009, kandungan gula pekawai kultivar kuning jauh lebih rendah yaitu hanya 6,44 gram saja. Nilai kandungan seratnya pun lebih tinggi di banding durian, yaitu 4,25 gram.
Ini barulah satu keunggulan pekawai dari durian; buah ini mungkin masih memiliki banyak potensi yang belum tergali. Saya jadi bertanya-tanya, berapa banyak UFT yang menyimpan potensi ‘tersembunyi’ seperti ini. Sayangnya, dokumentasi kandungan gizi dari buah-buahan UFT ini memang belum banyak.
Agroforestri dapat menyediakan ruang
Menyeimbangkan kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dan penghidupan petani memang butuh kompromi. Mayoritas petani akan cenderung memilih jenis tanaman yang jelas untung-ruginya. Akses bahan tanam, ketersediaan informasi tentang budi daya, dan peluang pasar menjadi faktor penting yang dipertimbangkan petani untuk memilih jenis-jenis tanaman di dalam lahannya. Terbatasnya pengetahuan dan pengalaman terkadang menyebabkan pemilihan jenis tanaman akan mengerucut pada pilihan yang itu-itu saja. Padahal, masih banyak jenis lain seperti pohon buah lokal yang memiliki potensi dan dapat diikutsertakan dalam perancangan kebun agroforestri.
Namun, sistem agroforestri sebenarnya masih memberikan harapan. Mengikutsertakan petani dan pemerhati dalam proses perancangan agroforestri dapat menjadi peluang untuk menyediakan ruang bagi pohon buah lokal seperti pekawai. Mengatur pola dan jarak tanam yang baik bisa kita lakukan untuk menyediakan ruang-ruang tersebut. Menyisipkan 1-2 pohon kan, tidak ada salahnya juga.
Pertemuan singkat dengan pekawai telah membuka mata saya. Ternyata, masih banyak kekayaan hayati yang tersembunyi di balik hutan-hutan tropis kita. Pekawai hanyalah satu dari ratusan, mungkin ribuan, potensi pangan lokal yang belum sempat bersinar. Kalau kita tak segera memberi ruang bagi mereka — di lahan, di pasar, dan di pikiran kita — maka mereka bisa benar-benar hilang.
Saat bicara soal keadilan dan keberlanjutan, kita sering lupa bahwa keberagaman buah
lokal juga bagian dari itu. Menyelamatkan buah seperti pekawai bukan semata soal rasa atau nostalgia, tapi tentang merawat warisan alam dan pengetahuan lokal agar tak terkubur oleh zaman.
Comments are closed