
Agroforestri Kakao:
Solusi berkelanjutan untuk tantangan lingkungan
di Luwu Utara
Edisi online eksklusif
Curah hujan yang tinggi membuat petani kakao di Luwu Utara, Sulawesi Selatan menghadapi tantangan besar. Tanaman kakao kerap terendam air hingga rusak, menyebabkan puluhan hektare kebun gagal panen akibat banjir dan genangan yang datang silih berganti. Kurangnya pengetahuan dan praktik penanaman kakao yang baik juga membuat produktifitas kakao semakin menurun. Kondisi ini membuat banyak petani kehilangan semangat, bahkan sebagian memilih meninggalkan kebun mereka dan beralih mencari pekerjaan lain.
Di Desa Rompu, Kecamatan Masamba, Kelompok tani di Klaster 5, seperti Mabbarakae dan Sipatuo Rompu, sebelumnya telah menerapkan praktik agroforestri di kebun kakao mereka dengan menanam durian, pepaya, kelapa, pisang, dan langsat. Namun mereka menerapkannya dengan cara yang kurang tepat, pengaturan jarak tanam yang kurang sesuai dan pola penanaman yang tidak teratur, sehingga berdampak pada produktifitas yang kurang optimal.
Di Mappedeceng, kelompok tani Kakao Sebrang menanam pohon pelindung seperti durian dan kelapa sebelum menanam kakao. Namun, untuk memaksimalkan jumlah tanaman kakao, jarak tanam antara kakao dan tanaman lainnya menjadi terlalu dekat. Akibatnya, pertumbuhan tanaman kakao cenderung lambat karena adanya persaingan nutrisi. Meskipun pohon-pohon pelindung ini berfungsi sebagai naungan, jumlah cahaya matahari yang diterima tanaman kakao menjadi sedikit, sehingga produksi kakao tidak maksimal.
Pak Nasir, salah satu anggota Kelompok Tani Damai, menyebut bahwa, beberapa petani di kelompok tersebut sempat berhenti merawat kebun karena merasa usaha mereka sia-sia. Namun pada tahun 2023, ia bersama anggota lainnya mulai bangkit kembali setelah bergabung dalam Program Sustainable Farming in Tropical Asian Landscapes (SFITAL), yang didanai oleh International Fund for Agricultural Development (IFAD).
Melalui program ini, petani mendapatkan pendampingan dan arahan agar tetap menanam kakao sebagai komoditas utama, dan memperkenalkan pendekatan agroforestri yang memadukan tanaman kakao dengan tanaman lain seperti durian, alpukat, kelapa, pisang, dan tanaman pelindung lainnya yang terbukti mampu meningkatkan hasil panen sekaligus menjaga ketahanan lahan terhadap perubahan iklim.
Di beberapa klaster percontohan SFITAL, seperti Klaster 7 dan 2, Kamil selaku Field Trainer melakukan pendekatan kepada petani dengan memperkenalkan teknik agroforestri. Pendekatan ini terbukti efektif menghadapi curah hujan tinggi dan risiko banjir akibat perubahan iklim.

Mareamin, petani peserta Program SFITAL sejak 2022, kini menikmati hasil kebun kakao yang meningkat pesat berkat perawatan rutin. Sejak harga kakao naik pada 2024, ia mampu menjual hasil panennya seharga Rp150.000 per kilogram dengan total panen mencapai 500 kg, lebih tinggi dari sebelumnya. Keberhasilan ini tak lepas dari penerapan teknik pemangkasan kakao dan tanaman lain seperti durian dan langsat, agar tanaman mendapat cukup cahaya matahari, terutama di wilayah pegunungan yang banyak pepohonan tinggi.
Ada juga yang menerapkan sistem agroforestri sederhana, yakni Kelompok Tani Mega Rezki dan Maju Bersama di Desa Tarra Tallu. Mereka memaksimalkan lahan kebun datar dengan 2-4 jenis tanaman pendamping kakao, diantaranya gamal, durian, pisang, dan kelapa, yang tidak hanya berfungsi sebagai tanaman pelindung, tetapi juga dapat menambah pendapatan.
Sebanyak 94 kelompok tani di 23 desa telah aktif menerapkan praktik pertanian berkelanjutan, dengan total 2.148 petani yang terdiri dari 1.604 laki-laki, 544 perempuan, dan 285 pemuda atau petani milenial. Para petani ini tersebar di lima kecamatan: Masamba, Mappedeceng, Malangke Barat, Sabbang Selatan, dan Sabbang. Mereka mulai menerapkan sistem agroforestri yang menggabungkan kakao dengan berbagai tanaman lain sesuai karakteristik lahan dan pengetahuan lokal petani. Jenis tanaman yang sering dipilih adalah tanaman buah-buahan dan tanaman kayu, yang selain membantu produktifitas kakao juga memberikan hasil tambahan bagi keluarga petani.
Di Desa Rompu dan Mappedeceng, beberapa kelompok tani telah berinisiatif menanam tanaman gamal yang berfungsi menambah nutrisi tanah. Petani kini memahami pentingnya menanam berbagai jenis tanaman, selain untuk keuntungan ekonomi, juga untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Petani di Desa Bone Subur, dengan lahan kebun sempit, mereka memilih tanaman hortikultura yang memiliki siklus panen mingguan agar dapat dipanen dengan cepat. Sementara di Klaster 2, seperti di Desa Tulak Tallu, beberapa petani yang memiliki lebih dari satu kebun, mereka memilih untuk menanam tanaman jangka panjang seperti durian.





Keberhasilan praktik agroforestri di berbagai wilayah dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama karakteristik lahan dan preferensi petani dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun panjang. Oleh karena itu, adaptasi praktik agroforestri berdasarkan kondisi lokal dan jenis komoditas yang diminati petani sangat penting untuk mengoptimalkan produktivitas dan keberlanjutan.
Untuk mendukung keberhasilan program ini, kegiatan penyuluhan perlu terus diperkuat, tidak hanya melalui petugas lapangan tetapi juga melalui interaksi rutin antarpetani dalam kelompok tani. Pertukaran pengetahuan dan pengalaman dapat memperkaya pengetahuan praktis dan membantu penerapan teknik-teknik yang lebih efektif. Perawatan tanaman yang baik, seperti pemangkasan, pemupukan, pengaturan jarak tanam, dan pemberantasan hama penyakit menjadi langkah kunci untuk mencegah persaingan antar tanaman dan mendukung pertumbuhan optimal kakao dalam sistem agroforestri.
No responses yet