
Dilema ekonomi vs lingkungan
Bisakah LUMENS menyelesaikannya
Di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Sumatera Selatan, banyak lahan terbentang luas namun tak tergarap. Di balik hamparan hijau itu, tersimpan potensi pangan sebagai sumber ekonomi atau justru sebaliknya bencana ekologis jika kita keliru dalam pengelolaannya.
“Optimalisasi lahan tidur dan rawa menjadi lahan produktif juga perlu dilakukan sehingga lahan pertanian bisa diperluas,” begitu harapan Ketua Komisi IV DPRD Sumatera Selatan, Holda, mengenai arah pembangunan Sumsel, sebagaimana dikutip oleh rmolsumsel.id.
Pernyataan ini senada dengan ambisi pemerintah pusat untuk menjadikan Sumsel sebagai lumbung pangan nasional. Sebagaimana dinyatakan Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, bahwa dari total 409.977 hektare lahan rawa, 150.000 hektare akan digunakan untuk program cetak sawah baru pada 2025 (rmolsumsel.id).
Namun di balik ambisi tersebut, tersimpan tantangan krusial: di mana lokasi paling tepat untuk mengimplementasikan program ini agar tidak merusak ekosistem yang ada? Tidak semua lahan tidur benar-benar “kosong” dari fungsi ekologis. Banyak di antaranya penting dalam siklus hidrologi, penyimpan karbon, dan habitat keanekaragaman hayati lokal.
Situasi semacam ini tak hanya terjadi di Sumatera Selatan. Ini adalah gambaran umum yang juga dihadapi oleh banyak daerah di Indonesia yang menggantungkan pendapatan utamanya pada sektor berbasis lahan.
Selain itu, paradigma dalam proses perencanaan berbasis lahan kerap kali menempatkan pemerintah daerah sebagai entitas tunggal dalam mencari solusi dan merumuskan regulasi. Pendekatan ini mengakibatkan keputusan sering terasa dipaksakan dan kurang mengakomodasi para pemangku kepentingan di lapangan. Pelibatan berbagai pihak diperlukan untuk menghimpun aspirasi dan memahami keterkaitan sebab-akibat dalam merumuskan regulasi yang implementasinya akan berdampak pada lanskap masa depan.
LUMENS sebagai alat bantu
Salah satu strategi pembangunan berbasis ekonomi hijau adalah pengelolaan tata ruang dan guna lahan terintegrasi. Hal ini mencakup upaya pengelolaan ruang yang seimbang untuk kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan. Sebelumnya, proses negosiasi tata kelola lahan kurang terfasilitasi dengan baik karena tidak adanya alat bantu (platform) yang dapat menunjukkan potensi area intervensi, lokasi intervensi yang tepat sesuai fungsi kawasan, dan skala intervensi yang dapat diimplementasikan (van Noordwijk M, Tomich TP, dan Verbist B. 2001).
Untuk menjawab tantangan ini, ICRAF Indonesia memperkenalkan LUMENS (Land Use Planning for Multiple Environmental Services), sebuah kerangka berpikir dengan berbagai perangkat analisis untuk mendukung pemerintah daerah menyusun kebijakan yang inklusif, berbasis data, dan berorientasi pada keberlanjutan (Dewi S, dkk, 2023).
Sejak diperkenalkan pada tahun 2013, LUMENS terus berkembang dan kini dilengkapi empat modul utama analisis (lihat lumens.or.id).

Sebagai alat bantu, LUMENS memungkinkan simulasi kebijakan secara komprehensif, khususnya berkaitan dengan kebijakan pembangunan pada sektor berbasis lahan. Misalnya, jika 10.000 hektare lahan gambut dibuka untuk perkebunan, maka sejauh mana dampak ekonominya dan seberapa besar risiko lingkungannya? Dari simulasi ini, potensi trade-offs antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan bisa dipetakan dengan jelas. Tak hanya itu, LUMENS juga mendorong negosiasi multipihak, sehingga aspirasi dari berbagai pihak, mulai dari dinas teknis hingga masyarakat, dapat terakomodasi dalam perencanaan bentang lahan.
Dalam satu dekade terakhir, LUMENS membantu Sumatera Selatan menyusun perencanaan wilayah yang lebih terarah. Sebelumnya, proses penyusunan dokumen perencanaan hanya berdasarkan identifikasi tren dari data statistik linear, sehingga pemerintah daerah bingung menentukan intervensi dan kebijakan apa yang paling tepat untuk menjawab isu-isu spesifik di wilayahnya.
Hasilnya? Perencanaan pembangunan yang lebih lestari tak lagi sekadar jargon. LUMENS membantu menyusun regulasi yang konkret dan terukur, salah satunya melalui dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Sumsel, yang disusun dengan pendekatan berbasis bukti dan negosiasi yang inklusif dalam kerangka kerja LUMENS.
Peran LUMENS dalam memproyeksikan implementasi RPPEG untuk perlindungan dan pengelolaan 1,7 juta hektare gambut menunjukkan skenario ini terbukti lebih unggul daripada Business as Usual (BAU). Simulasi memperkirakan penurunan emisi GRK pada lahan gambut sebesar 1,1% dan 32% pada lahan mineral pada periode 2025–2050. Sementara itu, ekonomi daerah (PDRB) dalam skenario RPPEG tumbuh 7,42%, lebih tinggi dibandingkan BAU pada tahun 2050. Namun, data dan proyeksi yang menjanjikan ini barulah langkah awal di atas kertas. Keberhasilannya masih harus diuji melalui implementasi nyata di lapangan.
Tantangan kedepan
Tantangan sebenarnya muncul saat rencana yang disusun harus diterjemahkan ke dalam aksi nyata di lapangan. Pertanyaan penting yang harus direnungkan adalah bagaimana memastikan rencana-rencana yang telah disusun dengan baik dapat dilaksanakan secara konsisten. Hal ini memerlukan komitmen jangka panjang dari semua pemangku kepentingan untuk menjaga keberlanjutan program, terlepas dari dinamika politik lokal yang ada.

LUMENS telah menunjukkan potensi besar dalam mendukung proses perencanaan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Keberhasilannya akan ditentukan pada bagaimana menjembatani visi dan aksi, menjadikan dokumen perencanaan sebagai pijakan, membangun sinergi lintas sektor, serta menjaga keberlanjutan program. Dengan demikian, pembangunan daerah yang berkeadilan ekonomi dan lingkungan dapat menjadi kenyataan yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan ekosistem.
Dony Indiarto dan Anugerah Yuliadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
No responses yet