Satu petani tujuh komoditas, bagaimana agroforestri menguatkan ketahanan pangan keluarga

Satu petani, tujuh komoditas

Bagaimana agroforestri menguatkan ketahanan pangan keluarga


Bagi banyak petani, tahun 2017 menjadi masa yang sulit karena harga karet yang anjlok tajam. Banyak petani kelimpungan, termasuk Robert Bakir, petani karet asal Desa Manua Sadap, Kabupaten Kapuas Hulu.

Ketika itu, berkebun karet adalah sumber penghidupan utama bagi keluarga Bakir, di samping mempraktikkan ladang berpindah untuk padi, palawija, dan sayur-sayuran. Sebagian besar hasil ladang digunakan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, sedangkan hasil dari penjualan karet digunakan untuk memenuhi kebutuhan lainnya — mulai dari belanja lauk pauk, pakaian, memperbaiki rumah, hingga membiayai pendidikan anak-anak.

Harga karet yang anjlok menjadi pukulan berat bagi kehidupan keluarga mereka. Bakir yang hidup sebagai petani penuh waktu harus memutar otak agar ketahanan penghidupan dan pangan keluarganya tetap terpenuhi dari lahan yang ia miliki. Beruntung, pada 2018 ia terlibat dalam pelatihan dan pendampingan dari lembaga non-pemerintah untuk menerapkan sistem agroforestri di kebun karetnya. Sejak itu, ia mulai memperkaya lahannya dengan berbagai jenis komoditas mulai dari kakao dan buah-buahan, serta berbudidaya madu kelulut, ikan, ayam, dan masih banyak lagi.

Satu lahan, beragam hasil

Setiap hari, Bakir dan istrinya menghabiskan sebagian besar waktunya di pondok yang ia bangun di samping kebun agroforestri miliknya. Kebun seluas tiga hektare ini ia tata rapi dan dibagi ke dalam beberapa blok.

Dari pinggir jalan lintas, lahannya memanjang mengikuti kontur yang menanjak ke arah belakang. Pondok yang mereka tempati ketika siang berada di blok bawah berisi karet berusia 15 tahun yang diintegrasikan dengan madu kelulut (Trigona spp.) serta beberapa tanaman durian dan petai. Di sampingnya, terdapat pula pembibitan kakao yang ia kembangkan sendiri. Semua itu menjadi bagian dari upaya keluarga mereka untuk menjadikan lahan kebunnya lebih produktif dan beragam.

Dari blok karet bagian bawah kebunnya itu, sebagian besar hasil yang diperoleh adalah getah karet, namun ada yang berbeda dari cara pengelolaan getah karet di kebun mereka. Alih-alih mangkuk plastik, Bakir menggunakan ruas bambu.

Menurutnya, selain menjadi wadah penampung getah yang ramah lingkungan, bambu juga dapat menjaga kualitas getah. Getah yang terkumpul juga tidak direndam, tetapi langsung dijemur pada rak-rak pengeringan. Teknik ini akan menjaga kualitas getah dan kadar karet kering sehingga harga jualnya lebih tinggi.

Tidak cuma karet, Bakir juga mengembangkan usaha madu kelulut untuk dipasarkan bersama dengan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Desa Menua Sadap. Madunya diberi nama lokal ‘Batang Kanyau’, dibanderol dengan harga Rp50.000 per botol ukuran 250 ml.

”Karet ini saya tanam dengan jarak 6 m x 4 m. Sela yang cukup luas itu saya manfaatkan untuk meletakkan sekitar 30 batang kayu untuk sarang lebah kelulut,” kata Bakir sambil tersenyum.

“Dalam 1 stup mampu menghasilkan satu liter madu, yang dipanen setiap 40 hari. Pelan-pelan saya memperbanyak anakannya, supaya sarang bertambah. Madu yang dihasilkan bisa dikonsumsi sendiri sebagai obat dan vitamin (suplemen), juga bisa dijual sebagai tambahan untuk keluarga”, imbuhnya.

Di blok atas, setelah melewati jalan menanjak, terdapat kebun agroforestri kakao yang dipadukan dengan mangga, petai, rambutan, kayu sengon, dan kopi robusta. Tanaman kakao di blok ini berumur 3-4 tahun, dan kini sudah mulai berbuah. Buahnya beragam warna, mulai dari merah, hijau, dan kuning; menandakan aplikasi multiklon pada kebun yang baik untuk ketahanan iklim.

Bakir menjual biji kakao kering yang difermentasi terlebih dahulu, dengan harga jual yang lebih tinggi. Saat ini ia bisa menghasilkan sekitar 20 kg biji kakao kering siap jual dengan harga Rp100.000 per kg. Saat ini, hasil penjualan kakao ini digunakan sebagai pendapatan utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tanaman petai tak hanya berfungsi sebagai tanaman penaung kakao, tetapi juga menghasilkan buah. Selain untuk dikonsumsi sendiri, buah petai pun dapat dijual melalui pengepul di desa. Harga buah petai saat ini cukup tinggi, sekitar Rp20.000 per ikat. Hasil dari penjualan ini juga merupakan penghasilan sampingan setelah karet, madu, dan kakao.

Bersebelahan dengan blok kakao, terdapat satu blok lagi berisi tanaman karet berusia lima tahun yang diselingi tanaman nanas. Nanas dipilih karena perawatannya yang mudah, dan saat panen bisa untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual. Buahnya dipanen setiap 18-24 bulan dan sekali panen bisa menghasilkan 80 buah. Harga jualnya berkisar Rp10.000 per buah untuk ukuran besar dan Rp8.000 untuk ukuran sedang. Selain disantap selagi segar, bisa juga diolah sebagai jus, selai, dan bumbu ma msakan untuk olahan ikan.

Selain nanas, di sela-sela blok karet juga terdapat tanaman kopi robusta berumur dua tahun. Walaupun belum berbuah, kopi robusta ini sudah mulai belajar berbunga, dan memberi harapan tambahan pendapatan di masa depan.

Agroforestri memperkuat ketahanan pangan keluarga

Selain hasil dari agroforestri karet dan kakao, Bakir juga masih mengandalkan ladang padi, palawija, dan sayur mayur sebagai sumber pangan keluarga. Di dekat pondoknya, terdapat juga kolam ikan bawal air tawar dan kandang ayam pedaging sebagai sumber protein. Dengan sistem pengelolaan lahan yang ia kembangkan, hampir semua kebutuhan pangan dan gizi keluarganya kini terpenuhi, bahkan sebagaian juga dinikmati kerabat dan tetangga.

Riyandoko, peneliti CIFOR-ICRAF Indonesia di bidang penyuluhan agroforestri menambahkan, bahwa kebun agroforestri milik Bakir ini menunjukkan bahwa pertanian tidak hanya soal hasil ekonomi, tetapi juga tentang kemandirian dan ketahanan pangan keluarga. Dengan menanam berbagai jenis tanaman pada kebun, keluarga memiliki akses yang dekat pada sumber makanan yang lebih beragam dan bergizi, termasuk buah-buahan, sayur, padi, dan produk hewani.

“Keberagaman tanaman juga dapat mengurangi risiko gagal panen total akibat perubahan cuaca atau serangan hama yang biasanya hanya menyerang tanaman tertentu. Kondisi ini dapat memberi jaring pengaman pangan dan ekonomi keluarga,” ujarnya.

Bakir adalah salah satu contoh bagaimana pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri dapat memberikan manfaat yang beragam, termasuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Saat ini ia dikenal sebagai salah satu petani model di Kapuas Hulu, aktif membantu upaya peningkatkan kapasitas petani swadaya untuk menerapkan pertanian cerdas iklim dan agroforestri melalui kegiatan Enhancing Climate-smart Agriculture Technologies and Practices of Smallholder Community (ECSAP) yang didanai oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ).

Iskak Nungky Ismawan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

CATEGORIES:

Artikel

Comments are closed