
Menanamkan rasa aman pada iklim yang menantang
Pertumbuhan ekonomi hijau untuk kebun dapur berkelanjutan
Di tengah meningkatnya kerawanan pangan dan dampak besar perubahan iklim, kebutuhan akan sistem pangan yang tangguh dan berkelanjutan menjadi semakin mendesak. Tantangan ini sangat terasa di wilayah kering seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), yang menghadapi musim kemarau panjang, curah hujan tak terduga, dan kerentanan terhadap perubahan iklim. Agustus ini misalnya, beberapa daerah di NTT justru diguyur hujan disertai angin kencang di tengah musim yang seharusnya kemarau.
Kondisi cuaca yang tak menentu ini memerlukan pendekatan pertanian adaptif, baik di skala besar maupun rumah tangga. Sayangnya, saat ini pemerintah masih lebih fokus pada pertanian skala besar. Sementara solusi di tingkat tapak, seperti pembangunan kebun dapur rumah tangga, sering kali diinisiasi oleh masyarakat sendiri.
Kebun dapur sebagai upaya ketahanan pangan
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), sejumlah rumah tangga sudah mulai menerapkan kebun dapur keluarga. Upaya ini akan mendukung ketahanan pangan dan menjadi wujud nyata konsep pertumbuhan ekonomi hijau (Green Growth Program/GGP) yang dimulai dari lingkungan rumah tangga.
Meski kebun dapur dapat menjadi solusi atas ketahanan pangan dengan memenuhi kebutuhan pangan yang beragam dan aman, berbagai kendala dalam penerapannya masih banyak dikeluhkan, seperti penyediaan air bersih, bibit, pupuk organik, dan lainnya. Masalah ini menimbulkan keraguan, apakah langkah kecil di tingkat tapak ini cukup layak untuk diteruskan?
“Saat ini masih banyak masyarakat yang menggunakan bahan kimia untuk budidaya sayuran, yang bisa merusak tanah dan membuat ketergantungan. Bukan untuk dikonsumsi keluarga, yang penting saat panen bisa langsung dijual dan dapat uang,” ucap Jekson Liubana, pengelola kebun dapur dari Desa Oepliki. Situasi ini membutuhkan perhatian di tingkat yang lebih tinggi untuk memastikan bahwa masyarakat dapat menerapkan kebun dapur secara berkelanjutan.

Pertumbuhan ekonomi hijau
Pada saat yang sama, Pemerintah NTT tengah membangun dokumen perencanaan Pertumbuhan Ekonomi Hijau (GGP). GGP memuat enam strategi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kesetaraan sosial, dengan tetap memastikan tersedianya jasa lingkungan serta mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. Salah satu indikator makro yang ingin dicapai adalah ketahanan pangan, yang pada penerapannya bisa diwujudkan dengan sinergi indikator GGP lainnya, seperti ketahanan air.
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, yang memiliki musim kering panjang misalnya, hasil dari komoditas sayur dan buah musiman tidak akan optimal bila tidak dibarengi dengan upaya ketahanan air yang berkelanjutan. Upaya di tingkat tapak sejauh ini telah dicoba, di antaranya melalui penggunaan irigasi tetes sederhana yang cukup membantu.
Namun, diperlukan dukungan dari pemerintah setempat untuk memastikan ketersediaan air bersih dalam jangka panjang. Perencanaan pembangunan berbasis DAS serta restorasi lahan, hutan, pesisir, dan sumber daya air—yang tertulis dalam strategi GGP NTT—akan membantu kegiatan di tingkat tapak dengan memastikan kebun dapur mendapatkan akses terhadap air secara berkelanjutan.
Tantangan keberlanjutan
Selain air, kendala lainnya yang dihadapi masyarakat TTS adalah penyediaan benih lokal berkualitas untuk penerapan kebun dapur. Hanya sebagian tanaman yang dapat dibenihkan sendiri, sementara benih hibrida di pasaran memiliki harga yang cukup tinggi dan sulit dibenihkan kembali. Strategi 3 GGP NTT juga dapat memberikan kepastian untuk peningkatan kapasitas masyarakat rentan mengenai praktik pertanian yang baik, sehingga dapat mendukung akses terhadap benih yang lebih beragam dan meningkatkan produksi komoditas yang tahan iklim.
Strategi
Pertumbuhan Ekonomi Hijau NTT
Strategi 1:
Tata guna
lahan berkelanjutan
Strategi 2:
Penguatan kelembagaan dan peningkatan akses terhadap 5 (lima) modal penghidupan yang sensitif terhadap GEDSI
Strategi 3:
Optimalisasi produktivitas, diversifikasi, peningkatan daya saing, dan nilai tambah sektor unggulan daerah yang berketahanan iklim
Strategi 4:
Penguatan supply chain dan konektivitas ekonomi wilayah yang berkeadilan
Strategi 5:
Restorasi lahan, hutan, pesisir, dan sumber daya air
Strategi 6:
Pendanaan inovatif multipihak melalui mekanisme investasi dan insentif jasa lingkungan
Belum banyak masyarakat yang memahami konsep pertanian cerdas iklim yang lebih ramah lingkungan, tahan terhadap guncangan iklim, dan menghasilkan produksi pangan yang lebih aman.
Mama Mawarni Sinaga dari Desa Hoi menuturkan, perlu adanya aturan pemerintah untuk kegiatan penanaman bersama secara organik, agar masyarakat dapat melakukan penanaman secara berkelanjutan dengan pupuk organik yang diproduksi sendiri.
“Harus ada pendampingan rutin dari pemerintah agar petani bisa diarahkan, atau dengan kemitraan antar petani sehingga terus berkelanjutan,” tambahnya.
Senada dengan Mama Sinaga, Izhar, fasilitator kebun dapur menyatakan bahwa penerapan GGP di tingkat tapak membutuhkan pendampingan dan diskusi multipihak, terlebih dari pihak pemerintah ke komunitas lokal. “Salah satu bentuk dukungan yang diperlukan ke depan adalah pengembangan kebun belajar yang dapat dijadikan contoh untuk pengelolaan bentang lahan yang baik dan mengurangi dampak perubahan iklim. Semoga hadirnya pemerintah daerah di tingkat tapak untuk berdiskusi tentang GGP, dapat membuka jalan bagi petani dan lingkungan yang kita pijak,” ujarnya.
Pembangunan kebun dapur oleh masyarakat merupakan langkah awal yang baik untuk mengantisipasi kerawanan pangan. Namun, perlu ada kepastian akan faktor-faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan masyarakat. Karenanya, dokumen GGP NTT dan komitmen pemerintah menjadi penting sebagai landasan dan jaminan tercapainya kemandirian pangan.
Izhar Ashofie, Alfonsus Seran, dan Fitri Marulani berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
No responses yet