
Bersama-sama pulihkan lahan kritis
Menanggulangi sisi gelap komoditas primadona di Kabupaten Bone
Edisi online eksklusif
Air mengalir deras dari puncak bukit, tanpapepohonan yang menghalangi, menerjang pemukiman dan lahan pertanian di lereng hingga ke dataran rendah. Pak Asri, seorang petani yang tinggal dan bertani di daerah hulu, tertegun menyaksikannya. Saat itulah dia menyadari betapa buruk dampak penebangan pohon dan penggundulan lahan.
Untung bagi Pak Asri, kejadian tersebut bukanlah kenyataan, melainkan bagian dari simulasi dalam sebuah permainan. H2Ours adalah permainan papan (boardgame) edukasi yang mensimulasikan dampak hilangnya tutupan pohon pada aliran air permukaan pada suatu bentang lahan. Pak Asri menjadi peserta dalam pelatihan pengelolaan bentang lahan yang diprakarsai oleh Kelompok Kerja (Pokja) Bentang Lahan Kabupaten Bone bersama ICRAF Indonesia.

Kesadaran Pak Asri muncul di waktu yang tepat. Saat ini kondisi lahan kritis dan penutupan/penggunaan lahan di sub-DAS Walanae, wilayah tempat dia tinggal, sangat mengkhawatirkan. Data dari BPDAS Jeneberang Saddang menunjukkan bahwa lahan kritis di wilayah Sub-DAS Walanae seluas 18.408,84 hektare dan sangat kritis 47.844,84 hektare, atau sekitar 26% dari luas DAS Bila Walanae. Padahal, permasalahan dan penanganan di Sub-DAS Walanae sangat penting dan berpengaruh besar dalam sistem tata air dan pangan di Kabupaten Bone dan sekitarnya.
Kondisi penutupan lahan yang semakin terbuka dan tingginya sedimentasi diduga mengakibatkan meluapnya Sungai Walanae, bahkan berkontribusi pada pendangkalan Danau Tempe di Kabupaten Wajo. Banjir telah menjadi masalah rutin bagi masyarakat di Kabupaten Bone, Soppeng, dan Wajo saat musim penghujan tiba. Berdasarkan data terakhir dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Sulawesi Selatan, tingkat sedimentasi di Sungai Walanae mencapai 210.131 mg/liter. Sedangkan tingkat erosi rata-rata tiap sub-DAS diperkirakan sebanyak 68.804,67 ton/tahun.
Lahan terbuka tanpa pepohonan, dipenuhi oleh hamparan tanaman jagung yang ditanam sampai di perbukitan terjal, menjadi pemandangan yang memprihatinkan ketika memasuki area perbatasan Kabupaten Bone. Jagung, meskipun menjadi komoditas unggulan di Kabupaten Bone, juga dapat berkontribusi pada kerusakan lingkungan apabila dibudidayakan dengan mengabaikan prinsip pertanian keberlanjutan.
Sisi gelap komoditas primadona
Di Kabupaten Bone, budidaya jagung berkembang pesat karena mudah dilakukan dan cepat memberikan keuntungan. Akses terhadap benih/bibit yang lebih mudah, ditambah bantuan sarana produksi dari pemerintah daerah, semakin mempermudah para petani. Selain itu, harga jagung yang relatif tinggi dan frekuensi panen yang lebih sering, mempercepat perputaran pendapatan dan kian memperkuat daya tarik komoditas ini.
Di balik pesonanya, perluasan jagung secara massif, sering kali disertai penebangan pohon dan tanpa memperhatikan konservasi tanah serta air, menyebabkan lahan terbuka kian meluas. Di wilayah hulu, kondisi ini memperbesar risiko erosi dan longsor.

Tanah yang gundul tanpa perlindungan vegetasi mudah terkikis, terbawa aliran air, dan longsor ke wilayah di bawahnya. Material hasil erosi kemudian mengendap di sungai dan waduk di hilir, menyebabkan sedimentasi. Paparan langsung juga mempercepat hilangnya unsur hara penting bagi kesuburan tanah.
Lebih jauh lagi, sistem pertanian monokultur, yang hanya menanam satu jenis tanaman secara luas, rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Untuk mengatasinya, sering kali bahan kimia digunakan secara intensif. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan ini mencemari tanah dan air, serta mengancam keanekaragaman hayati.
Rangkaian dampak negatif dari perluasan lahan jagung monokultur, mulai dari erosi, sedimentasi, penurunan kesuburan tanah, hingga pencemaran lingkungan, memerlukan solusi pendekatan komprehensif dan kolaboratif. Solusinya tidak hanya berfokus pada aspek teknis pertanian, tetapi juga harus menyentuh aspek perencanaan, perumusan kebijakan, dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan.
Di sinilah peran penting Kelompo Kerja (Pokja) Bentang Lahan Kabupaten Bone, yang didukung oleh ICRAF melalui proyek Land4Lives didukung oleh kerjasama antara Pemerintah Indonesia (melalui Kementerian PPN/Bappenas) dan Pemerintah Kanada (melalui Global Affairs Canada/GAC). Pokja hadir sebagai wadah kolaborasi untuk menyinergikan berbagai strategi dan upaya dalam mengelola sumber daya alam, khususnya lahan, di Kabupaten Bone.
Peran Pokja Bentang Lahan
Pokja Bentang Lahan Kabupaten Bone dibentuk pada tahun 2023 dan diketuai oleh kepala Bappeda Bone, Ade Fariq Ashar. Anggotanya terdiri dari perwakilan instansi pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan perguruan tinggi di Kabupaten Bone. Dengan visi “Terwujudnya Bentang Lahan Bone yang Hijau Lestari sebagai Penopang Kehidupan untuk Mewujudkan Masyarakat yang Sejahtera,” pokja ini melaksanakan berbagai kegiatan untuk mendorong pengelolaan bentang lahan yang berkelanjutan dan lestari di Kabupaten Bone.

Pokja Bentang Lahan berfokus pada peningkatan kapasitas para pihak. Upaya yang dilakukan antara lain melalui advokasi kebijakan. Contohnya adalah keterlibatan dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Selain itu, mereka juga menyelenggarakan pelatihan pengelolaan bentang lahan dan lokakarya pertanian cerdas iklim. Lokakarya ini menghadirkan narasumber dari instansi terkait. Bahkan, Pokja Bentang Lahan juga mendorong kebijakan penganggaran yang berwawasan lingkungan, seperti Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE).
Lebih jauh lagi, Pokja Bentang Lahan Kabupaten Bone berkomitmen untuk mendorong prinsip-prinsip pelestarian lingkungan ke seluruh instansi terkait di Kabupaten Bone. Salah satu langkah konkret yang akan dilakukan adalah mengadvokasi agar prinsip-prinsip tersebut terintegrasi ke dalam Rencana Strategis (Renstra) setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Hal ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045, yang menempatkan lingkungan sebagai salah satu dari 45 indikator utama. Melalui kolaborasi semua pihak, harapannya Bone dapat menjadi wilayah yang hijau, lestari, dan berkelanjutan demi masa depan yang lebih baik.
Setitik harapan
Permainan H2Ours mengingatkan Pak Asri dan peserta lainnya bahwa setiap tindakan di hulu berdampak besar di hilir. Erosi, sedimentasi, dan banjir di Bone menunjukkan praktik pertanian lama perlu berubah. Melalui inisiatif Pokja bentang lahan, harapan menuju perbaikan mulai tumbuh.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi, serta penerapan prinsip lingkungan dalam pembangunan, Kabupaten Bone berpotensi menjadi contoh pengelolaan bentang lahan berkelanjutan. Upaya ini melindungi lingkungan, meningkatkan kesejahteraan, dan mencegah kerugian bagi generasi mendatang.
No responses yet