Menanam harapan, memanen ketahanan, Diversifikasi hasil tambak melalui wanamina

Menanam harapan, memanen ketahanan

Diversifikasi hasil tambak melalui wanamina


Di area pesisir kecamatan Cenrana, Sulawesi Selatan, 80% lahan telah digunakan untuk tambak dan hanya 8% yang tersisa untuk mangrove. Selama bertahun-tahun, kondisi ini telah menimbulkan ketergantungan masyarakat pada hasil tambak. Beberapa petani menemukan bahwa menanam mangrove kembali dengan sistem wanamina (silvofishery) dapat mengurangi ketergantungan itu serta meningkatkan pendapatan mereka.

Mursidin, seorang petambak di desa 2Pallime, kecamatan Cenrana, menyadari ada yang berubah ketika dia mulai mengadopsi sistem wanamina di tambaknya dengan menanam mangrove.

“Setelah pakai sistem wanamina, ikan sango-sango dan bandeng lebih sering naik ke permukaan karena airnya lebih sejuk. Di tambak dekat laut seperti Pusungnge, hasilnya lebih melimpah karena air payau mendukung pertumbuhan ikan tiap tahun,” ujarnya ketika ditemui Kiprah beberapa waktu lalu.

Bagi Mursidin dan petambak lainnya di kawasan Cenrana, ini kabar gembira yang dapat berdampak positif tidak hanya pada pendapatan, tapi juga ketahanan pangan mereka.

Ikan bandeng adalah salah satu sumber protein yang mudah diperoleh dan harganya terjangkau. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam PMK No. 14 Tahun 2014, konsumsi 1,5 ekor bandeng sehari cukup untuk memenuhi kebutuhan protein harian tubuh.

Ketersediaan bandeng yang memadai melalui sistem wanamina membantu memastikan masyarakat Cenrana dapat memenuhi kebutuhan gizi hariannya. Diperkirakan, penerapan sistem ini mampu menghasilkan 261 kg kepiting, 112 kg bandeng, dan 93 kg udang per tahun.

Ketergantungan pada tambak

Mangrove adalah bagian penting dari ekosistem perairan, berperan sebagai tempat berkembang biak bagi ikan dan hewan air lainnya. Studi yang dilakukan oleh CIFOR-ICRAF bersama University of Kent (UK) dan Charles Darwin University (Australia) menemukan pengaruh mangrove pada pola makan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Dalam laporan tentang studi tersebut yang diterbitkan pada 2024, data menunjukkan bahwa masyarakat di desa-desa yang dekat dengan mangrove mengonsumsi 19-28 persen lebih banyak ikan segar daripada rumah tangga di kawasan pesisir lainnya, dan secara total 13-22 persen lebih banyak pangan hewani. Menurut para peneliti, ini dapat berdampak signifikan pada status gizi keluarga yang tinggal di dekat mangrove.

Sementara itu, dampak akuakultur (tambak) pada konsumsi ikan justru amat rendah – dan bahkan negatif dalam beberapa kasus. Salah satu peneliti, Amy Ickowitz dari CIFOR-ICRAF, mengatakan ini berarti membabat mangrove untuk akuakultur tidak hanya ide yang buruk untuk ekologi tapi juga ketahanan pangan.

Di Cenrana, penggunaan lahan untuk tambak yang mencapai 80% dan menyisakan hanya 8% lahan untuk tutupan mangrove telah membuat 14.500 jiwa di tujuh desa – termasuk Pusungnge, Laoni, dan Pallime bergantung pada hasil tambak untuk kecukupan gizi keluarga. Meski menghadapi masalah naik-turunnya harga, abrasi pantai, dan intrusi air laut, tambak tetap menjadi salah satu sumber penghidupan utama yang menyediakan lapangan pekerjaan dan menjamin kebutuhan pokok masyarakat setempat.

Studi yang dilakukan oleh CIFOR-ICRAF Indonesia pada 2024 menemukan bahwa 28,53% pengeluaran pangan keluarga di Cenrana digunakan untuk membeli ikan, udang, cumi-cumi, dan kerang sebagai sumber protein mereka. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding belanja protein lain seperti ayam dan daging sapi (4.07%) atau sumber protein lainnya.

Artinya ketika hasil tambak berkurang, termasuk karena perubahan iklim, masyarakat tidak hanya kehilangan penghasilan, tetapi juga sumber protein utama bagi keluarga mereka.

“Kalau tambak gagal panen, kami terpaksa cari usaha lain atau kerja sebagai buruh harian di tambak orang. Sedangkan untuk makan sehari-hari harus beli ikan di pasar atau dari petambak lain yang masih berproduksi,” kata Mursidin.

Wanamina: Solusi ketahanan pangan dan gizi

Di tengah tantangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan pesisir, beberapa petambak di Cenrana, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, menemukan solusi baru melalui sistem wanamina (silvofishery): sebuah sistem terpadu yang menggabungkan antara budidaya perikanan dan penanaman mangrove. Praktik ini diinisiasi petani bersama CIFOR-ICRAF Indonesia dalam riset-aksi Land4Lives, yang didukung oleh pemerintah Kanada.

Praktik wanamina merupakan salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada tambak tradisional. Sistem ini menawarkan solusi keberlanjutan dengan berbagai manfaat positif, termasuk menjamin kecukupan gizi keluarga dan menambah penghasilan warga.

Mangrove berperan penting sebagai benteng alami tambak terhadap abrasi dan intrusi air laut, sekaligus membantu meningkatkan kualitas air tambak. Dengan menanam pohon mangrove di dalam atau sekitar area tambak, wanamina menciptakan ekosistem yang mendukung produktivitas perikanan sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Selain melindungi tambak, mangrove pada tambak wanamina juga berfungsi sebagai habitat alami bagi kepiting, udang, dan ikan liar. Keberadaan mangrove ini dapat meningkatkan hasil tangkapan petambak sekaligus penghasilan mereka.

Penelitian dari CIFOR-ICRAF menunjukkan bahwa tambak dengan wanamina mampu menghasilkan keuntungan hingga 25% lebih besar dibanding tambak tradisional. Potensi perbedaan pendapatan mencapai Rp 46 juta per hektar dari hasil panen tambak dan diversifikasi hasil tangkapan.

Praktik wanamina diharapkan mampu meningkatkan hasil panen tambak hingga 10% serta memperkuat ketahanan pangan berkelanjutan. Sistem ini berpotensi menambah pasokan ikan, udang, dan kepiting sebagai sumber protein hewani. Protein ini sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, khususnya di wilayah pesisir yang selama ini sangat bergantung pada hasil laut.

Melalui praktik ini, masyarakat bisa memperoleh makanan bergizi yang cukup secara berkelanjutan, sembari menjaga kelestarian lingkungan.

Tantangan keberlanjutan

Meskipun sistem wanamina menawarkan banyak manfaat, penerapannya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Menurut penelitian Basyuni dkk pada 2018, salah satu kendala utamanya ialah keengganan para petambak dalam mengurangi luas tambak mereka (sekitar 10–50%) untuk ditanami mangrove. Mereka beralasan bahwa berkurangnya area tambak berarti berkurang pula produksi udang, kepiting, bandeng, dan rumput laut yang selama ini menjadi sumber penghasilan.

Kendala lain adalah biaya awal pembangunan tambak wanamina yang diperkirakan 10% lebih besar daripada tambak tradisional. Selain itu, ketergantungan pada tambak tradisional yang terbukti memberikan hasil langsung serta kurangnya pemahaman tentang manfaat jangka panjang wanamina menjadi salah satu faktor penghambat dalam adopsi sistem ini secara luas.

Oleh karena itu, pendekatan edukatif memegang peranan penting dalam mendorong penerapan sistem wanamina. Sosialisasi dan pelatihan rutin kepada para petambak, disertai demonstrasi langsung melalui percontohan wanamina, dapat membantu mereka melihat manfaat nyata keberadaan mangrove dalam sistem ini.

Dukungan Pemerintah Kabupaten Bone, khususnya melalui Dinas Perikanan dan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), dalam bentuk penyediaan bibit mangrove dan insentif pendanaan, juga dapat memperluas adopsi sistem ini. Sebagai solusi berkelanjutan yang menguntungkan baik bagi petambak maupun lingkungan, wanamina merupakan pilihan yang layak untuk dicoba.

CATEGORIES:

Artikel

Comments are closed