Membangkitkan Kembali Lahan Tidur: Kisah Sukses Agroforestri di Desa Maggenrang

Membangkitkan Kembali Lahan Tidur

Kisah Sukses Agroforestri di Desa Maggenrang


Edisi online eksklusif

Pak Darwis tidak menyangka lahan tidur miliknya bisa produktif kembali. Lahan seluas 0,25 hektare di Desa Maggenrang, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan itu sudah lama terlantar, karena kesibukannya sebagai petani padi dan jagung. Sekarang, banyak tanaman ia panen dari lahan itu, di antaranya cabai, terong, dan kakao; pendapatan dari semua komoditas tersebut menjaga dapurnya tetap mengepul. Itulah yang ia dapat setelah enam bulan menerapkan praktik baik agroforestri.

Meski berusia 70 tahun, semangat belajar Pak Darwis tak pernah padam. Ia aktif dalam kelompok belajar “Sayang Ibu” di Desa Maggenrang, yang pembentukannya diinisiasi dalam kegiatan riset-aksi Land4Lives ICRAF Indonesia. Setelah mengikuti beberapa pelatihan pertanian cerdas iklim, Pak Darwis mulai memanfaatkan lahan tidurnya dengan mengombinasikan tanaman jangka panjang dengan tanaman semusim.

Ia menanam tanaman jangka panjang seperti, durian, pala, alpukat, dan kakao sebagai tanaman utama, yang diselingi cabai, terong, dan ubi jalar. Jarak tanam 8 meter untuk pohon besar dan 4 meter untuk kakao. Ia juga menerapkan cara meremajakan tanaman kakao yang sudah tidak produktif melalui perbanyakan vegetatif dan pemangkasan rutin. Dengan metode sambung pucuk dan sambung samping, tanaman kakao yang asalnya ‘lesu’ bisa berbuah kembali.

Ketika ditemui, Pak Darwis bercerita bahwa tanaman cabainya sudah dipanen 10 kali, dengan hasil sekitar 10 kg setiap panen. Ia jual ke pedagang pengepul di kecamatan dengan harga sekitar Rp20.000 per kg. Dari cabai saja, ia sudah memperoleh total sekitar Rp2.000.000, dan panen diperkirakan masih akan berlanjut dalam dua bulan ke depan. Sedangkan dari panen terong, ia mendapatkan 5 kg per minggu dengan harga jual Rp10.000 per kg (Rp500.000 dari 10 kali panen). Belum lagi dari kakao. Tiga bulan terakhir, tanaman kakaonya kembali produktif, menghasilkan 7 kg per bulan dengan harga Rp80.000 per kg. Totalnya, sekitar Rp1.680.000 tambahan dari kakao saja.

Menurutnya, penghasilan tambahan yang lumayan banyak itu ia dapatkan dengan usaha yang relatif sedikit. “Mengelola kebun agroforestri lebih santai dibandingkan bekerja di sawah,” ungkapnya.

Membangkitkan lahan tidur

Di desa Maggenrang, kita bisa menjumpai banyak lahan perkebunan yang ditinggalkan petani karena tanamannya sudah tidak produktif. Lahan seperti itu biasa disebut “lahan tidur”. Setelah menelantarkannya begitu saja, biasanya petani beralih ke tanaman padi dan jagung yang dapat memberikan hasil secara berkala dalam jangka pendek.  Padahal, dengan intervensi yang tepat, lahan tidur dapat diubah menjadi produktif kembali.

Situasi ini mendorong ICRAF Indonesia untuk memperkenalkan praktik pertanian cerdas iklim (Climate-smart agriculture/CSA) agar lahan-lahan tidur tersebut bisa kembali menjadi sumber penghidupan tambahan bagi petani. Langkah ini merupakan bagian dari riset-aksi Land4Lives yang didanai Pemerintah Kanada, yang bertujuan memperkuat ketahanan pangan dan penghidupan masyarakat rentan terhadap perubahan iklim.

Dalam mengimplementasikan praktik baik tersebut, anggota kelompok tani diajak untuk mengikuti pelatihan untuk bersama membangun dan mengelola kebun belajar agroforestri. Kebun belajar menjadi wadah bagi anggota kelompok tani untuk belajar dan mempraktikkan langsung berbagai inovasi sistem agroforestri. Kebun belajar dipilih melalui kesepakatan kelompok dan disetujui pemilik kebun dengan penandatanganan surat kerja sama.

Pak Darwis turut menawarkan lahan miliknya untuk menjadi salah satu kebun belajar di Maggenrang. Awalnya, lahan seluas 0,25 hektare ini hanyalah lahan tidur. Hanya ada sebatang jati, beberapa kakao tua, dan pohon kelapa yang dibiarkan begitu saja.

Melalui seri pelatihan CSA, ICRAF memperkenalkan konsep agroforestri kepada anggota kelompok belajar, sistem pengelolaan kebun yang mengombinasikan tanaman jangka panjang dan tanaman semusim dalam satu lahan. Konsep ini kemudian dipraktikkan langsung di kebun belajar yang telah disepakati bersama.

Tahap awal dimulai dengan membuat desain kebun belajar dengan melibatkan pemilik kebun untuk menentukan tata letak jenis tanaman. Selanjutnya, pemilik kebun membersihkan lahan,  sementara anggota kelompok membantu membuat jarak tanam, lubang tanam, dan melakukan pemupukan awal dengan pupuk kompos. Setelah itu, dilakukan penanaman. Langkah-langkah ini bertujuan agar seluruh anggota kelompok memahami teknis praktik baik pengelolaan kebun agroforestri.

Berikutnya pemilik kebun merawat kebun belajar secara rutin, dengan pemantauan berkala oleh petugas lapangan untuk memantau perkembangan tanaman dan memberikan saran untuk perbaikan pengelolaan. Semua proses berlangsung secara inklusif, dengan mengutamakan kebutuhan dan keinginan pemilik kebun.

Kisah sukses dan pengalamn Pak Darwis telah membuktikan manfaat sistem agroforestri dalam memperkuat pendapatan petani dengan mengombinasikan beragam tanaman komoditas dalam satu luasan lahan, sekaligus menginspirasi petani lainnya. Tidak hanya memberi tambahan penghasilan, agroforestri juga berkontribusi pada tiga strategi pertanian cerdas iklim, yaitu meningkatkan produksi melalui keberagaman jenis tanaman, adaptasi terhadap perubahan iklim, serta mitigasi perubahan iklim.

CATEGORIES:

Artikel

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *