Ketahanan pangan berbasis pengetahuan

Ketahanan pangan
berbasis pengetahuan


Ketahanan pangan merupakan salah satu fokus kebijakan pemerintah Indonesia saat ini. Dalam banyak percakapan tentang topik tersebut, ada dua program yang sering dibahas. Pertama adalah yang bersifat bantuan sosial — baik itu berupa sembako, makan gratis, atau uang tunai. Kedua, “swasembada pangan” yaitu peningkatan produksi pangan – biasanya sumber karbohidrat – di tingkat nasional atau regional melalui pemusatan produksi skala besar di lahan pertanian monokultur.

Program-program ini sesungguhnya bagus sebagai solusi jangka pendek. Bantuan pangan dan pemberian makanan secara langsung dapat mengurangi pengeluaran masyarakat, memberikan solusi instan untuk kebutuhan pangan yang mendesak. Sementara produksi pangan skala besar dapat meningkatkan ketersediaan pangan di tingkat nasional dan regional, serta berpotensi menambah sumber pendapatan bagi petani. Namun, mereka juga berpotensi menimbulkan masalah baru.

© Balgies Devi Fortuna/CIFOR-ICRAF Program Indonesia

Bantuan pangan, jika jadi satu-satunya andalan, dapat menciptakan ketergantungan. Cara ini juga masih cenderung mengutamakan aspek kuantitas dibandingkan kualitas gizi pangan yang diberikan; padahal permasalahan mendasar terkait pangan dan gizi di masyarakat Indonesia saat ini lebih pada rendahnya mutu makanan yang dikonsumsi sehingga menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan dan gizi.

Sementara pemusatan produksi pangan di tingkat nasional dan regional dapat mendorong alih
fungsi lahan, berpotensi mengancam fungsi ekosistem alami. Hal ini akan berdampak pada daya dukung lingkungan serta kemampuan suatu wilayah untuk beradaptasi pada perubahan iklim.

Lebih jauh, keterlibatan pasif dari masyarakat dalam program-program seperti ini melemahkan keterampilan dan kemampuan untuk memilih pangan mereka sendiri, sehingga keragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat menjadi rendah. Ketidakmampuan memilih pangan yang berkualitas serta rendahnya keragaman pangan yang dikonsumsi ini akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan gizi di masyarakat.

Oleh karena itu, selain memastikan program-program ini berjalan dengan baik, Indonesia juga perlu mengerahkan lebih banyak upaya pada solusi yang menyentuh persoalan keragaman dan kualitas pangan — tidak sekadar pemenuhan stok pangan.

Pengetahuan:
Kunci membangun ketahanan pangan

Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati tinggi, Indonesia sesungguhnya kaya akan sumber pangan. Menurut KEHATI pada tahun 2023, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 26 jenis biji-bijian, 389 jenis buah-buahan, serta 228 jenis sayuran. Selain itu, ketersediaan kalori di Indonesia sudah lebih dari cukup, angka 2.800 kalori per kapita.

Skor Pola Pangan Harapan (PPH) nasional – indikator yang digunakan Badan Pangan Nasional untuk mengukur konsumsi pangan beragam dan seimbang – juga sudah mendekati sempurna, sebesar 95,06 pada tahun 2024. Ini berarti Indonesia menyimpan potensi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang sangat baik untuk masyarakatnya, baik dari segi jumlah maupun jenisnya.

Namun, berdasarkan data dari UNICEF tahun 2024, lebih dari 10 juta anak Indonesia belum terpenuhi kebutuhan pangannya. Setidaknya satu dari tiga anak di Indonesia mengalami tengkes (stunting), kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan zat gizi dalam jangka panjang pada anak yang dapat menyebabkan turunnya produktivitas di masa yang akan datang. Selain
itu, berdasarkan studi dari World Food Programme yang dilakukan pada 2025 angka obesitas yang semakin meningkat juga menunjukkan bahwa kualitas konsumsi pangan di masyarakat Indonesia kian menurun.

Di sini kita melihat bahwa di balik skor PPH yang hampir sempurna, kenyataannya Indonesia masih punya masalah kerawanan pangan dan malnutrisi. Tingginya angka tengkes (stunting), meningkatnya kasus berat badan anak rendah dibandingkan tinggi (wasting) akibat rendahnya pemenuhan kalori dan protein,
serta peningkatan obesitas pada kelompok anak dan dewasa membuat banyak pengamat mempertanyakan kemampuan Indonesia dalam menyediakan pangan yang cukup, aman, beragam, bergizi, dan merata bagi seluruh rakyatnya.

Salah satu penyebab utama rendahnya keragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia ialah ketidaktahuan tentang sumber makanan yang tersedia di lingkungan sekitar serta jenis makanan yang perlu dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari. Buktinya, masih banyak masyarakat yang meyakini slogan 4 Sehat 5 Sempurna yang dicanangkan pemerintah pada tahun 1952, padahal slogan ini sudah lama ditinggalkan. Pada tahun 2014, Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan pedoman Isi Piringku, yang menekankan konsumsi beragam makanan dengan kadar seimbang.

Melihat kondisi ini, barangkali sudah waktunya kita menggeser paradigma ketahanan pangan, dari pemenuhan stok pangan menjadi pangan berbasis pengetahuan. Upaya ini menekankan peningkatan literasi gizi yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.

Dua pendekatan

Penelitian Silva, dkk pada tahun 2023 menemukan bahwa literasi pangan dan gizi merupakan bagian penting dalam bidang kesehatan dengan memberdayakan individu untuk mengambil keputusan yang tepat tentang makanan dan dampaknya. Di tengah maraknya makanan olahan, siap saji, tinggi kalori namun rendah zat gizi, pemahaman yang baik memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi lebih efektif dalam program pemerintah, memberikan saran yang kritis dan lebih mewakili kepentingan mereka, serta meningkatkan permintaan akan akses atau keterjangkauan akan makanan yang lebih sehat.

Bersamaan dengan pendidikan gizi, akses dan ketersediaan pangan juga perlu ditingkatkan dengan memberdayakan masyarakat untuk memproduksi makanan sendiri secara berkelanjutan. Salah satu cara yang termudah ialah mempromosikan kebun pekarangan atau kebun dapur.

Kebun pekarangan memungkinkan masyarakat untuk aktif menghasilkan pangan sendiri, mengurangi pengeluaran makanan, dan mencapai kemandirian pangan dalam jangka panjang. Selain itu, kebun yang berlokasi di dekat rumah juga akan meningkatkan ketersediaan pangan beragam dan bergizi, mempermudah akses dan keterjangkauan dengan memangkas rantai pasok, serta
lebih relevan dengan budaya lokal dan preferensi.

Penelitian Blakstad, dkk pada 2020 menunjukkan bahwa kombinasi literasi gizi dan akses pangan melalui kebun pekarangan dapat meningkatkan skor keragaman pangan (Dietary Diversity Score) yang menunjukkan peningkatan pada kualitas konsumsi makanan.

Lahan untuk kehidupan

Dua pendekatan di atas – peningkatan literasi gizi dan promosi kebun pekarangan – telah diterapkan oleh CIFOR-ICRAF Indonesia, melalui kegiatan Land4Lives yang disokong oleh pemerintah Kanada. Ide di balik kegiatan ini adalah masyarakat perlu dibekali dengan keterampilan khusus yang dibutuhkan untuk kemandirian dalam jangka panjang, termasuk menanam dan membudidayakan tanaman-tanaman pangannya sendiri yang sesuai dengan kebutuhannya. Land4Lives dilaksanakan di tiga provinsi: Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Studi yang dilaksanakan CIFOR-ICRAF di tiga lokasi kegiatan Land4Lives mengungkap tingginya tingkat kerawanan pangan di tingkat rumah tangga. Di TTS Nusa Tenggara Timur, mayoritas penduduk (8 dari 10 orang) mengalami kerawanan pangan pada level sedang hingga tinggi. Situasi serupa juga ditemukan di Banyuasin dan Musi Banyuasin Sumatera Selatan, di mana setidaknya 3 dari 10 orang menghadapi masalah ini, dan di Bone Sulawesi Selatan dengan angka 2 dari 10 orang. Pada studi ini, disebutkan juga bahwa perubahan iklim merupakan salah satu faktor besar yang mempengaruhi kerawanan pangan. Hasil panen yang menurun, gagal panen, perubahan cuaca, hama, penyakit dan berbagai hal lainnya menjadi faktor yang menyebabkan kerawanan pangan terjadi.

Land4Lives melakukan fasilitasi kebun dapur secara komunal di 36 desa di NTT, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Di antara 1700 anggota kelompok kebun dapur, setidaknya 980 anggota sudah melakukan adopsi di tingkat rumah tangga. Para pengadopsi melaporkan bahwa kebun dapur menghemat pengeluaran untuk makanan, serta mendorong pola pangan sehat di keluarga – tanaman yang ditanam di rumah dianggap lebih segar dan aman.

Dalam upaya memerangi malnutrisi di Indonesia, literasi gizi dan pemanfaatan kebun pekarangan menjadi kunci strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif. Perubahan pendekatan dari sekadar mengejar swasembada beras dan kuantitas pangan menuju ‘ketahanan
pangan berbasis pengetahuan’ sangat diperlukan.

Dengan membekali masyarakat dengan pemahaman gizi dan kemampuan membudidayakan pangan yang beragam dan bergizi, kualitas konsumsi diharapkan akan meningkat. Selain itu, langkah ini akan mempermudah akses atau keterjangkauan pangan yang sesuai dengan budaya setempat, sekaligus memberdayakan masyarakat untuk membuat pilihan makanan yang lebih baik. Dengan kemampuan ini, status gizi, kesehatan, dan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga akan meningkat.

CATEGORIES:

Opini

Comments are closed