Langkah kolektif menata wajah baru kakao Luwu Utara, pembelajaran dari proses perencanaan peta jalan komoditas berbasis yurisdiksi

Langkah kolektif
menata wajah baru kakao Luwu Utara

Pembelajaran dari proses perencanaan peta jalan komoditas berbasis yurisdiksi


Di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, kakao bukan sekadar komoditas tetapi menjadi bagian dari identitas sosial dan ekonomi masyarakat. “Siapa di sini yang bersekolah karena kakao?” tanya Bupati Indah Indriani dalam forum, sebuah pengingat bahwa kakao telah lama menjadi sumber penghidupan. Meski sempat mencapai masa keemasan pada 2011, produktivitas kakao di daerah ini terus menurun. Namun kontribusi kakao terhadap perekonomian daerah tetap signifikan. Hampir setengah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Luwu Utara berasal dari sektor pertanian, dan separuhnya dari subsektor perkebunan, terutama kakao.

Pada Januari 2021, di tengah pandemi, sejumlah mitra berkumpul di Luwu Utara. Ada pemerintah daerah, kelompok tani, koperasi kakao, difasilitasi oleh Proyek Sustainable Farming in Tropical Landscape (SFITAL) Indonesia, kolaborasi antara ICRAF, Rainforest Alliance, dan Mars dengan dukungan pendanaan dari IFAD. Meski memakai masker dan menjaga jarak, semua hadir dengan satu tujuan: menggali kembali potensi dan masa depan kakao.

Pertemuan hari itu bukan mengenai menanam atau memperbaiki hasil panen. Semua menyadari bahwa membangun masa depan kakao berarti juga berbicara tentang lanskap sosial-ekologis yang kompleks, di mana kepemilikan lahan, dinamika pasar, pengetahuan lokal, dan tata kelola saling terkait. Pendekatan yurisdiksi memungkinkan kolaborasi lintas sektor dalam satu wilayah administratif. Artinya, strategi pengembangan kakao tidak hanya menyoal kebun atau petani, tapi juga menyasar kebijakan daerah dan hubungan antar-aktor.

Untuk memastikan kolaborasi berjalan sesuai tujuan, dibutuhkan mekanisme pengukuran capaian yang adil dan transparan. Di sinilah pentingnya sistem indikator bersama. Seperti ditegaskan oleh Brandão et al. (2020) dalam studinya, sistem indikator yang disepakati bersama menjadi elemen kunci dalam pendekatan yurisdiksi, karena memungkinkan pemantauan dan penguatan capaian secara kolektif. Di Luwu Utara, prinsip, kriteria, dan indikator disusun berdasarkan standar internasional seperti LandScale, Terpercaya, SourceUp, dan Kerangka Daya Saing Daerah (KDSD). Namun, agar lebih relevan dan aplikatif di tingkat lokal, indikator-indikator tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Penyesuaian ini juga penting untuk mempermudah proses sertifikasi di masa mendatang.1


1 Peta jalan kakao Luwu Utara menunjukkan kesesuaian tinggi dengan standar-standar tersebut sebanyak: (i) LandScale: 79%, terutama pada aspek lingkungan, tata kelola, dan produksi; (ii) Terpercaya: 55%; (iii) KDSD: 50%, terutama pada aspek ketahanan ekonomi, pengelolaan lingkungan, dan insentif; dan (iv) SourceUp: 49%.

  • Penurunan luas
    lahan kakao
  • Penurunan daya dukung
    dan kesuburan lahan
  • Kebutuhan
    peremajaan kebun
  • Input terbatas (benih
    unggul dan pupuk)
  • Kebutuhan
    peralatan modern
    (termasuk fermentasi)
  • Keterbatasan
    penyuluh dengan
    kompetensi kakao
  • Produktivitas dan daya
    saing rendah
  • Rentan terhadap hama
    dan penyakit
  • Biaya transportasi tinggi
  • Kelembagaan rantai
    nilai rendah
  • Tidak ada jaminan dan
    pelacakan pasar
  • Kurangnya transparansi
    rantai pasok

Tujuh Langkah Menyusun Peta Jalan Kakao Berkelanjutan

Untuk mewujudkan tata kelola kakao yang berkelanjutan, dibutuhkan langkah-langkah sistematis dan partisipatif. Upaya ini dituangkan dalam sebuah peta jalan yang disusun melalui tujuh tahapan utama berikut:

1. Merancang pendekatan lanskap partisipatif

  • Petani menyuarakan keluhan soal bibit unggul, pemerintah mengakui keterbatasan anggaran, akademisi merefleksikan kesenjangan riset dan praktik.
  • Dialog multipihak menjadi fondasi penggalian isu dan pengetahuan lokal.

2. Menyusun prinsip, kriteria, dan indikator keberlanjutan

  • PCI keberlanjutan dikembangkan untuk kemudian ditelaah secara lokal dan ditinjau pakar sebelum disepakati bersama.

3. Pra-perencanaan dan memetakan pemangku kepentingan

  • Analisis awal terhadap isu strategis daerah serta pemetaan pemangku kepentingan.
  • Bappeda menjadi aktor kunci yang mengoordinasikan proses.

4. Melibatkan pelaku kepentingan kunci

  • Kelompok Kerja Kakao Lestari dilegalkan melalui SK Bupati No. 188.4.45//21/IV/2021.

5. Menetapkan tujuan dan ruang lingkup yang jelas

  • Melalui diskusi lintas sektor, visi “Kakao Lestari, Rakyat Sejahtera” disepakati.

6. Mengumpulkan dan menganalisis data

  • Data dikumpulkan dari kebijakan, statistik ekonomi, hingga peta spasial.
  • Analisis fokus pada dinamika penggunaan lahan (e.g. deforestasi dan ekspansi pertanian), serta penyusunan scenario.

6. Menyusun strategi dan desain peta jalan

  • Strategi disusun berdasarkan isu strategis, data empiris, dan hasil pemodelan.
  • Peta jalan memuat:
    ◦ Prioritas intervensi,
    ◦ Visualisasi rencana dan peta zonasi,
    ◦ Penetapan timeline dan capaian,
    ◦ Pembagian peran dan tanggung jawab,
    ◦ Fleksibilitas dan adaptasi terhadap perubahan, yang diwujudkan dalam sistem monitoring dan evaluasi.

Selama ini arah pembangunan Indonesia banyak ditentukan dari atas ke bawah (top-down). Namun, pengalaman Luwu Utara menunjukkan potensi pendekatan perencanaan yang berbeda, yaitu yurisdiksi yang tumbuh dari bawah ke atas, dari kebutuhan masyarakat dan realitas lokal. Alih-alih menerapkan standar keberlanjutan yang seragam dan ditetapkan dari luar, Luwu Utara dapat merumuskan prinsip keberlanjutannya dengan nilai yang digali langsung berdasarkan pengalaman hidup petani, dinamika sosial, dan karakteristik unik lanskapnya.

Keberadaan Kelompok Kerja Kakao, yang awalnya bekerja sendiri-sendiri, kini mulai bersatu dalam sebuah platform kolaboratif yang solid. Lahirnya Peta Jalan Kakao Lestari tidak hanya relevan bagi Luwu Utara sebagai daerah penghasil kakao, tetapi juga dapat menjadi inspirasi bagi wilayah dengan komoditas unggulan lainnya yang ingin menyelaraskan tujuan ekologis, ekonomi, dan sosial. Tiga hal yang menjadi kunci keberhasilan: kepemimpinan aktif para tokoh lokal, kolaborasi lintas sektor, serta kepemilikan di daerah yang diperkuat oleh insentif dan pendampingan.

Pada akhirnya, peta jalan kakao lestari bukan sekadar rencana teknis, melainkan proses pembelajaran kolektif. Proses ini menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak hanya soal lingkungan atau peningkatan pendapatan, tetapi juga tentang membangun dialog yang setara di antara para pihak.

CATEGORIES:

Artikel

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *