
Mewujudkan kakao yang berkelanjutan
melalui perencanaan pertumbuhan ekonomi hijau Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan adalah salah satu tulang punggung kakao Indonesia, tapi keadaannya sedang tidak baik-baik saja: produktivitasnya kian menurun, tanamannya sudah tua, daya dukung lahan semakin berkurang, dan praktik budidayanya tidak berkelanjutan. Petani kini banyak beralih mengganti tanaman kakaonya ke komoditas lain yang lebih menjanjikan. Bukan tanpa risiko, sebagian besar petani beralih ke sistem monokultur tanaman semusim yang lebih rentan di tengah situasi perubahan iklim.
Salah satunya dirasakan oleh Abidin, petani kakao di Desa Turuadae, Kabupaten Bone. Ia memiliki lahan kakao varietas lokal seluas 0,4 ha yang saat ini telah berumur 30 tahun. Kini produksinya semakin menurun serta rentan terserang hama dan penyakit. Minimnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki membuatnya putus asa dan berpikir untuk mengganti kakaonya dengan tanaman lain, walau ia urungkan.
Begitu juga dengan Leang, petani kakao di Desa Magenrang, masih di Kabupaten Bone. Di tengah tekanan mayoritas petani sekitar yang telah beralih menanam padi dan jagung, ia masih bertahan dengan kebun kakaonya seluas 1 ha. Namun, nilai tambah yang ia dapatkan dari biji kakao dirasa belum maksimal. Meski harga biji kering saat ini relatif tinggi, Rp 75.000/kg, tak juga kunjung memberikan keuntungan yang memotivasi petani sekitarnya untuk beralih kembali ke kakao.
Agroforestri kakao: implementasi ekonomi hijau di tingkat tapak
Abidin dan Leang hanya segelintir petani yang masih bertahan dan percaya bahwa kebun kakaonya masih memiliki harapan. Melalui riset aksi Land4Lives yang diimplementasikan oleh CIFOR-ICRAF Indonesia dengan dukungan Pemerintah Kanada, keduanya ikut berpartisipasi dalam seri pelatihan pertanian cerdas iklim melalui pendekatan sistem agroforestri. Kegiatan ini dilakukan di 12 desa dampingan Land4Lives di Kabupaten Bone, dan desa mereka termasuk di antaranya.
Kebun-kebun kakao yang sudah tua seperti milik Abidin kemudian diremajakan dengan metode sambung samping dan penyisipan tanaman dengan varietas unggul, serta perbaikan kondisi tanah dengan pupuk organik agar lebih produktif. Selain itu, kebunnya juga ditanami alpukat, durian, dan matoa di sela tanaman kakao. “Kakao saya yang dulunya sudah tua dan tidak produktif, sekarang sudah mulai berbuah,” ujar Abidin.
Begitupun dengan Leang, setelah dilatih dan didampingi, kebun kakaonya kini telah diperkaya dengan multiklon varietas unggul kakao, memperbanyak bahan organik, serta menambah nilai jual biji kakaonya dengan metode fermentasi biji. “Harga biji kakao bisa naik sampai 20–30% kalau difermentasi dulu,” tegasnya.
Tak hanya manfaat ekonomi, agroforestri kakao dengan berbagai jenis tanaman di dalamnya juga memberikan manfaat lingkungan, sumber pangan, serta pendapatan tambahan. Apa yang dilakukan oleh Abidin dan Leang merupakan contoh kecil implementasi ekonomi hijau di tingkat tapak, yakni meningkatkan produktivitas dan perbaikan rantai nilai.

Sejalan dengan inisiatif dan komitmen di tingkat provinsi
Upaya Abidin dan Leang tidaklah cukup jika tidak didukung kebijakan yang tepat. Kakao, sebagai komoditas unggulan, perlu dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Melalui dukungan ICRAF Indonesia dalam riset aksi Land4Lives, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tengah berupaya mewujudkannya melalui Perencanaan Pertumbuhan Ekonomi Hijau.
“Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang tinggi mestinya tidak lagi mengorbankan kualitas lingkungan dan keadilan sosial,” tegas Inyo, S.T., M.Eng., Kepala Bidang Ekonomi dan SDA Bappelitbangda Sulawesi Selatan. Menurutnya, pengembangan agroforestri kakao adalah salah satu solusinya.
Melalui strategi pengembangan produktivitas dan perbaikan rantai nilai yang mendukung pengembangan ekonomi, langkah ini dilakukan dengan mengintegrasikan perencanaan pertumbuhan ekonomi hijau ke dalam dokumen perencanaan Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD). Sebagai hasilnya, kebijakan dan program pemerintah tersebut akan dapat mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh Abidin dan Leang di tingkat tapak, untuk kemudian diimplementasikan secara luas di Sulawesi Selatan.
Dikdik Permadi dan Ira Ratna Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
No responses yet