
Kontributor: Riyandoko dan Iskak Nugky Ismawan
Berkah Hutan, Masyarakat Dapat Manfaat
Pembangunan ekonomi hijau berbasis perhutanan sosial di Kapuas Hulu
Edisi online eksklusif
Hutan memberikan manfaat secara langsung dalam meningkatkan ekonomi, pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat. Perhutanan Sosial (PS) merupakan program kebijakan pemerintah dalam upaya mendukung masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk mendapatkan akses kelola hutan secara legal.
Melalui skema PS, masyarakat dan masyarakat hukum adat diberi kesempatan untuk mengelola hutan hingga 35 tahun, dengan peluang perpanjangan. Skema ini membuka jalan bagi warga sekitar kawasan hutan untuk memperoleh manfaat ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Salah satu bentuk skema PS adalah Hutan Desa (HD), di mana masyarakat diberi hak untuk mengelola hutan negara yang ada di sekitar desanya. Mengelola Hutan Desa ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ada istilah “susah-susah gampang” yang pas untuk menggambarkan proses pengelolaannya.
Lembaga Desa Pengelola Hutan (LDPH) sebagai pemegang izin HD punya tugas besar: tidak hanya memastikan hutan tetap lestari, tapi dapat memberi manfaat nyata bagi warga sekitar. Langkah pertama yang krusial adalah penguatan kapasitas internal. Ibarat nakhoda kapal, LDPH perlu tahu persis arah dan tujuan pengelolaan agar tidak salah haluan, perlumelakukan penandaan batas areal kelola guna mengatahui mana yang boleh dimanfaatkan, mana yang harus dijaga sebagai kawasan perlindungan. Semua ini dilakukan secara partisipatif, melibatkan masyarakat desa agar merasa memiliki. Tak berhenti di situ, LDPH juga wajib mengawal keamanan hutan dengan melakukan patroli berkala, sambil berpedoman pada dokumen Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS) sebagaimana tercantum pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9 Tahun 2021, Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Mengelola PS bukan hanya soal menjaga pepohonan tetap hijau, tapi juga bagaimana masyarakat bisa merasakan manfaat nyata dari hutan. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk lembaga pendamping, sangat dibutuhkan. Bukan hanya dalam bentuk peningkatan kapasitas LDPH, tapi juga dalam hal pendanaan. Tak bisa dipungkiri, keterbatasan dana menjadi salah satu tantangan terbesar masyarakat desa dalam mengelola hutan. Oleh karena itu, dibutuhkan skema pendanaan yang lebih inovatif yang dapat membuka peluang kerja sama dengan pihak ketiga, baik lembaga mitra pembangunan, maupun sektor swasta yang punya komitmen pada kelestarian lingkungan, sehingga pengelolaan LPHD tidak selalu bergantung pada bantuan pemerintah.
Contoh menarik terlihat di Desa Mensiau, Kapuas Hulu. Sejak memperoleh izin Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) seluas 10.000 hektare pada tahun 2017, berawal dari usulan masyarakat, LDPH Mensiau aktif bekerja sama untuk mencari pendanaan alternatif, termasuk skema Remediation and Compensation Plan (RaCP).
Pendanaan ini merupakan bentuk kompensasi dari perusahaan ekstraktif untuk komunitas yang berkomitmen menjaga hutan secara berkelanjutan. Sebagian dananya dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan mata pencaharian ramah lingkungan, seperti agroforestri, pertanian, dan perikanan, sehingga masyarakat memiliki sumber pendapatan selain mengekstraksi hasil hutan.
Silvester Berasap, seorang petani di Desa Mensiau, yang juga menjabat Ketua LDPH, telah menerapkan agroforestri di kebunnya, dengan menanam berbagai tanaman seperti petai, kakao, kopi, durian, hingga sayuran seperti mentimun, terong asam, jahe, dan kunyit. Hasil sayuran dapat memenuhi kebutuhan harian keluarganya, sementara tanaman rimpang, kopi, kakao, hingga durian menjadi tabungan jangka panjang yang dipanen setiap musimnya.
Silvester Bearasap tidak sendiri. Mardianus Aden juga telah lama mengelola kebun agroforestri, mulai dari karet dan tanaman buah, agrosilvofishery (perpaduan kebun dan perikanan), hingga hortikultura. Bahkan ia membangun Pondok Belajar Mensiau di lahannya sebagai ruang bersama untuk masyarakat dan pengunjung untuk mempelajari praktik pertanian yang baik, sekaligus menjadi pusat kreativitas dan berbagi pengetahuan agar warga tetap produktif.
Pondok Belajar Mensiau didirikan ada tahun 2016 berfungsi sebagai pusat pembelajaran pengelolaan hutan lestari sekaligus tempat budidaya komoditas unggulan. Pembangunannya didukung melalui kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Jerman dalam program penurunan emisi (REDD+).
Sejak berdiri, pondok ini tselalu ramai dikunjungi. Selain warga desa, beberapa pengunjung dari luar yang datang untuk membeli hasil kebun seperti sawi dan labu air. Pondok ini juga memiliki kolam silvofishery berisi ikan bawal yang menjadi sumber konsumsi bagi pengunjung sekaligus dijual ke masyarakat sekitar dengan harga Rp95.000 per kilogram. Belajar sambil menikmati sajian ikan bawal segar, di tengah kebun dan hijau perbukitan yang menjadi daya tarik utama pondok ini.
Pondok Belajar tidak hanya menjadi tempat belajar bagi masyarakat, tetapi juga menarik perhatian berbagai lembaga resmi. Salah satunya Balai Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), yang pernah menjadikannya lokasi pelatihan mitigasi kebakaran hutan dan lahan. Kehadiran lembaga-lembaga ini membawa manfaat besar, baik dukungan fasilitas, penguatan kapasitas, juga berkontribusi bagi keberlanjutan program.
Di balik keberhasilan pondok belajar, ada sosok pencetus, yakni Mardianus Aden, seorang petani sekaligus penggerak utama kegiatan. Selain bertani, ia juga menjadi narasumber kunjungan antar-desa, juga berbagi pengalaman tentang praktik pertanian yang baik. “Bagaimana mengubah lahan kritis menjadi produktif, agar dapur juga terus ngepul?” ujarnya sederhana.
Namun, perjalanan pengelolaan pondok tentu tidak selalu berjalan mulus. Dukungan pendanaan yang besar memang membuka peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi komoditas lokal. Di sisi lain, besarnya bantuan kerap menimbulkan kesalahpahaman. Sebagian warga mengira program ini semata-mata bersifat komersial, sehingga muncul kekhawatiran bahwa kegiatan akan berhenti ketika pendanaan berakhir, tanpa adanya keberlanjutan.
Kini, kebun yang dulu hanya ditanami karet sejenis telah berkembang menjadi lahan agroforestri dengan aneka komoditas lokal yang memberi nilai ekonomi bagi masyarakat. Bersama Silvester Berasap,Pak Aden juga aktif mengikuti berbagai pelatihan. Salah satunya dari CIFOR-ICRAF melalui Program Enhancing Climate Smart Agriculture Practices (ECSAP) yang didukung GIZ-GRASS di Kapuas Hulu, untuk mendorong praktik pertanian cerdas iklim, agar hutan tetap lestari sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Program ini bukan hanya tentang menerima manfaat sesaat, melainkan bagaimana warga bisa mengelola hasilnya secara mandiri dalam jangka panjang. Di sinilah pentingnya meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya. Jika rasa memiliki tumbuh, program akan terus berjalan bahkan setelah dukungan resmi berakhir.
Bagi masyarakat, sayuran, hasil kebun, dan tangkapan ikan menjadi sumber penghidupan sehari-hari. Namun yang terpenting, mereka telah membuktikan bahwa hidup dari kebun tak harus merusak hutan. Desa Mensiau adalah buktinya; di sini, kemandirian ekonomi tumbuh seiring terjaganya kelestarian hutan.


No responses yet