
Menjemput harapan berkembangnya
kopi dari Tanah Timor
Nusa Tenggara Timur (NTT) tak hanya memukau dengan keindahan alamnya, tetapi juga memiliki kekayaan kopi yang menjanjikan, yang tengah menanti untuk digali dan dikembangkan. Dalam beberapa tahun belakangan, gelombang kecintaan terhadap kopi terus meluas, baik di tingkat domestik maupun global. Kafe-kafe menjamur, kopi spesialti (premium) mulai disukai dan tumbuh, ditambah para penikmat kopi tak lagi sekadar mencari kafein, melainkan juga cita rasa dan cerita dibaliknya. Di tengah gelombang ini, NTT memiliki peluang untuk mengambil peran, menawarkan bukan hanya sekadar biji kopi, tetapi juga karakter khas daerah asalnya. Kopi NTT sangat terkenal dengan kopi spesialti arabikanya seperti di daerah Flores, Bajawa, Manggarai, dan Lembata, memiliki karakter kuat dengan tingkat keasaman sedang dan rasa manis dengan kandungan aroma tembakau, kacang-kacangan seperti karamel, hazelnut, dan kacang macadamia.
Menurut International Coffee Organization (ICO), permintaan kopi global diproyeksikan akan terus tumbuh, didorong oleh peningkatan populasi dan perubahan gaya hidup yang menjadikan kopi sebagai kebutuhan harian. Indonesia sendiri, salah satu produsen kopi terbesar di dunia, tak hanya menyuplai pasar internasional, namun juga menghadapi lonjakan konsumsi domestik. Situasi ini menjadikan kopi sebagai komoditas strategis yang tak hanya berperan dalam neraca ekspor, tetapi juga dalam pemberdayaan petani lokal.
Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2023, produksi kopi di Indonesia mencapai 758 ribu ton, dengan 40.899 ton di antaranya telah diekspor. Nusa Tenggara Timur tampil sebagai salah satu daerah yang menyumbang capaian nasional tersebut. Dengan luas perkebunan 75.284 hektare, NTT menghasilkan 25.629 ton pada tahun yang sama, yang sebagian besar dikelola oleh petani kecil.
Meski memiliki peluang cerah, budidaya kopi di NTT masih menghadapi berbagai tantangan. Di banyak wilayah, praktik budidaya kopi masih dilakukan secara tradisional, peremajaan belum banyak dilakukan, dan penerapan pola tanam belum optimal. Di sisi lain, dampak cuaca ekstrem serta perubahan iklim yang memengaruhi produksi kopi, menyebabkan tekanan bagi petani yang mungkin sangat bergantung pada komoditas ini.
Data tahun 2023 menunjukkan bahwa dari total 75.284 hektare kebun kopi di NTT, hanya 64% yang tergolong lahan produktif. Sekitar 24% di antaranya masih belum berproduksi, sementara 12% sisanya telah masuk kategori tidak produktif. Data ini memperlihatkan bahwa hampir setengah dari total lahan kopi berada dalam kondisi belum dan tidak produktif. Dalam upaya mendorong produksi kopi NTT, peremajaan lahan tidak produktif dapat menjadi salah satu prioritas, disertai penerapan pola tanam dan praktik budidaya yang baik.
Berbagai langkah strategis dapat dilakukan melalui peremajaan, seperti menggunakan bibit unggul, membuat bibit unggul melalui sambung pucuk, atau meremajakan tanaman tua dengan teknik sambung samping. Namun, proses peremajaan sering kali menjadi kendala besar, terutama petani yang tidak memiliki simpanan uang yang cukup. Kurangnya perencanaan kebun dan manajemen keuangan membuat petani kesulitan saat produktivitas kopi menurun, karena tidak ada dana untuk peremajaan. Akibatnya, ketika tanaman kopi mulai tua dan menurun produktivitasnya, petani tidak memiliki simpanan dana untuk melakukan peremajaan, sehingga lahan dibiarkan tidak produktif dalam waktu yang lama. Solusinya adalah membuat bibit unggul mandiri atau melalui kelompok, sehingga dapat menekan biaya peremajaan.
Minimnya peremajaan serta praktik budidaya yang kurang optimal bukan sekadar persoalan teknis yang dihadapi petani kopi di NTT. Sebagai contoh budidaya kopi di Manggarai Timur, budidaya dengan pola kebun campur kopi-cengkeh yang pemupukannya belum konsisten, karena masih hanya difokuskan pada cengkeh saja dan bergantung pada ketersediaan pupuk yang dimiliki petani. Akibatnya produktivitas kopi hanya berada di kisaran 1,4 ton/ha/tahun. Kondisi ini jauh dari potensi optimal. Jika pola ini terus berlanjut, maka tidak hanya pendapatan petani yang tak kunjung membaik, tapi posisi kopi idola dari timur akan tergerus dan mengurangi peluang perputaran ekonomi.

Lahan yang tidak lagi menghasilkan perlu diremajakan, sementara lahan yang belum berproduksi perlu ditingkatkan produktivitasnya melalui penerapan budidaya dengan sistem good agriculture practices (GAP). Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain penggunaan benih unggul, pemupukan intensif, pembangunan rorak, dan pengolahan pascapanen. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Budidaya kopi dengan GAP mampu meningkatkan produksi rata-rata 1,6 juta ton/ha/tahun, membutuhkan 100 hari orang kerja per tahun, dan mampu menghasilkan keuntungan Rp128.000.000/ha selama 30 tahun, dengan rata-rata pendapatan petani Rp10.000.000/ha/tahun.
Selain dari aspek budidaya, peningkatan rantai nilai dan hilirisasi produk kopi seperti biji kopi sangrai dan bubuk kopi premium menjadi langkah penting di tingkat lokal. Produk-produk ini bisa menyasar kepada sektor industri makanan dan minuman seperti kafe, atau bahkan jika nantinya ditujukan untuk ekspor, kopi tidak hanya berupa biji mentah, tetapi memiliki nilai tambah yang lebih baik.
Upaya peremajaan, pengoptimalan praktik pertanian yang baik guna meningkatkan produktivitas dan produksi jangka panjang sekaligus mendorong hilirisasi kopi adalah bentuk nyata dalam mendukung strategi pertumbuhan ekonomi hijau di NTT. Dengan demikian, setiap cangkir kopi yang dinikmati tidak hanya menghadirkan kenikmatan, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan petani dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Thifali Adzani dan Oktariansyah Ade Pratama berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
No responses yet